Peneliti LIPI anggap Pj gubernur 2022 dan 2023 akal-akalan politisi.
Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Moch. Nurhasim menilai, penunjukan pejabat (pj) gubernur pada 2022 dan 2023 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertolak belakang dengan argumentasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) saat masyarakat mengusulkan agar Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 ditunda.
Saat itu, kata Nurhasim, Kemendagri berdalih jika Pilkada 2020 ditunda akan terjadi kekosongan kekuasaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Sebab, Pj (plt) memiliki keterbatasan wewenang dan banyak daerah perlu ‘mengebut’ program pemulihan ekonomi akibat Covid-19.
Menurut Nurhasim, partai pendukung penguasa akan memanfaatkan 272 pj gubernur dan bupati/wali kota ini, karena memang legal merujuk Pasal 210 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Ya dimanfaatkan betul (oleh) pemerintah untuk mengisi jabatan-jabatan itu berkaitan dengan kepentingan partai politik yang berkuasa. Enggak susah itu, tinggal dibagi-bagi saja. Orang-orang Jokowi dimana, orang-orang PDIP dimana, orang-orang Golkar dimana, PKB dimana, Nasdem dimana. Nah, kalau caranya begitu, ini terlalu kasar,” ujar Nurhasim saat dihubungi reporter Alinea.id, Selasa (16/3).
Permainan politik yang terlalu kasar ini, kata dia, pasti mendapat restu Presiden Jokowi. Makanya, kata dia, mayoritas parlemen (dari partai penguasa) menolak melanjutkan pembahasan RUU Pemilu yang mengkodifikasi UU 17/2017 dan UU 10/2016.