Pengarusutamaan isu perlindungan hak sipol dan ekosob dalam perhelatan pemilu mendatang dinilai minim.
Hajatan pesta demokrasi tidak diikuti dengan majunya tokoh yang berperspektif hak asasi manusia (HAM). Sejumlah kalangan dari aktivis HAM dan pegiat isu lingkungan juga menilai, calon kepala daerah yang maju, takut menolak proyek-proyek bermasalah yang rawan pelanggaran HAM. Pun belum ada calon berintegritas yang menghindari praktik politik transaksional dan ijon.
Melihat realitas tersebut, di mata aktivis HAM, pemilu tak lebih dari sekadar momen politik elektoral untuk berebut jabatan. Tak hanya itu,momen ini juga dianggap sebagai ajang menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan bisnis. Ujung-ujungnya adalah membuka ruang terjadinya pelanggaran HAM di berbagai sektor.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan, pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi dan hak atas informasi sangat rawan terjadi pada pertarungan pilkada serentak 2018 nanti. Itu tampak jelas dari kesulitan akses publik terhadap informasi di daerah, termasuk pemantauan kekayaan di daerah. Padahal, imbuhnya, jika bicara dalam konteks kekayaan daerah, tentu ada potensi ijon politik yang bermain di sana.
Sebab biaya politik yang mahal memang memaksa sejumlah calon pemimpin daerah, khususnya kandidat petahana, memanfaatkan sumber daya daerah untuk menutup ongkos politik mereka. Ketiadaan kesempatan akses informasi inilah yang menjadi batu penjuru (corner stone) bagi pemenuhan hak-hak lainnya, baik hak sipil-politik (sipol) maupun hak ekosob.
Tak hanya itu, potensi pelanggaran HAM pun terlihat dari regulasi yang diciptakan atau ditawarkan dalam visi misi calon kepala daerah. Di level nasional pun, aturan yang diturunkan dari berbagai konvensi HAM nihil diaplikasikan.