Berdasarkan catatan YLBHI, ada 4 pola yang dilakukan untuk membungkam gerakan-gerakan kampus yang mengkritisi pemerintahan Jokowi.
Akademisi dari berbagai perguruan tinggi kian lantang menyuarakan kegelisahannya atas perkembangan demokrasi dan kehidupan berbangsa belakangan ini. Sayangnya, mendapat sejumlah rintangan bahkan dideskreditkan.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, misalnya. Ia menuding kritik yang dilontarkan para akademisi dari sejumlah kampus kepada pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tersebut karena tidak mendukung pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
"Mungkin mereka juga mendukung dari paslon lain sehingga punya opinian yang demikian," ucap Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran itu, Senin (7/2). Enggak apa-apa, sah-sah saja."
Hingga 5 Februari 2024, lebih dari 30 lebih perguruan tinggi telah menyatakan keprihatinannya atas kemunduran demokrasi Indonesia di bawah rezim Jokowi. Sikap ini kali pertama diawali deklarasi sejumlah guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM), disusul Universitas Islam Indonesia (UII), UI, Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Universitas Mulawarman (Unmul).
Respons sinis senada dilontarkan Menteri Investasi sekaligus Ketua Dewan Pembina Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas), yang merupakan pendukung Prabowo, Bahlil Lahadalia. Ia bahkan menyebut munculnya gerakan akademisi itu diskenariokan dengan sengaja.