Bawaslu setelah berjalan sepuluh tahun baru memiliki taring. Kini Bawaslu menjelma lembaga yang punya kewenangan dari hulu hingga hilir.
Hari ini genap sepuluh tahun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) berkiprah menjadi anjing penjaga perhelatan demokrasi di Indonesia. Sejak dibentuk pada 9 April 2008 lewat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Bawaslu telah mengalami banyak perkembangan.
Lembaga ini sendiri mulanya didirikan sebagai anasir pendukung Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sudah ada sebelumnya. Karena tugasnya yang lebih distributif ke daerah, maka lembaga ini diperkuat dengan sejumlah aparatur hingga tingkat kelurahan/desa.
Semangat yang diusung Bawaslu senada dari awal pendirian, yakni mengawal proses demokrasi untuk menekan pelanggaran dan kecurangan. Kesadaran itu sendiri sebetulnya sudah dimulai sejak 1982, saat pembentukan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Hal itu dilatarbelakangi adanya krisis kepercayaan pada pelaksanaan pemilu, yang mulai dikooptasi kekuatan rezim penguasa sejak 1971.
Setelahnya, pada 1977 pemilu di tanah air juga diwarnai dengan manipulasi perhitungan suara yang dilakukan para petugas pemilu. Nada sumbang pun mengalir deras daripolitisi PPP dan PDI, untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu. Saat itu, pemerintah dan DPR yang banyak didominasi Golkar dan ABRI menginstruksikan pembentukan badan baru untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Pasca reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa kian menguat. Apalagi mempertimbangkan LPU yang notabene secara struktur adalah bagian dari Kementerian Dalam Negeri. Dari sinilah cikal bakal KPU terbentuk.