Sejumlah organisasi yang terangkum dalam koalisi masyarakat sipil tolak UU MD3 mendesak Presiden Jokowi untuk segera menerbitkan Perppu.
Meski aturan perihal penghinaan terhadap pejabat negara sudah terdapat dalam KUHP, anggota dewan ingin mempertebal tameng imunitasnya dengan membidani lahirnya UU MD3.
Aturan itu memang menuai pro kontra publik. Yang membuat publik kian geram adalah ketidaktegasan Presiden Jokowi yang dari awal diharapkan andil menolak produk legislasi tersebut. namun yang terjadi, mantan Walikota Solo itu justru mengambil sikap tidak menandatangani UU ini. Padahal secara konstitusional, seandainya presiden tidak ikut teken selama 30 hari, maka secara otomatis RUU tetap sah jadi UU.
Menyikapi sikap Jokowi, publik menggaungkan aksi penolakan lewat berbagai medium. Salah satunya melalui petisi yang diinisiasi oleh Koalisi mayarakat sipil tolak UU MD3 yang terdiri dari Yappika-Action Aid, Kode Inisiatif, Kopel Indonesia, PSHK, Perludem, ICW, dan Indonesia Budget Center. Petisi itu digulirkan melalui situs change.org/tolakuumd3 yang menjadi petisi nasional terbesar dan tercepat didukung masyarakat.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan ( PSHK) Ronald Rofiandri mengatakan, hasil perubahan UU MD3 ini semakin memperbesar jarak antara DPR dan konstituennya. Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan karena akan semakin mengurangi kepercayaan publik kepada DPR. Oleh sebab itu, presiden harus mengambil langkah cepat untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap jalannya pemerintahan.
"Hal ini juga semakin membuat jarak antara DPR dan rakyat, di sisi lain UU MD3 melahirkan penurunan kualitas demokrasi," katanya.