Kemenaker harus berperan sebagai regulator dan pengawas dalam program JKP.
Petaturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dinilai bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Hal tersebut tercermin dari sejumlah aturan resapan UU Ciptaker dalam PP yang diteken Jokowi pada Februari lalu itu.
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, mencatat, sejumlah aturan PP JKP yang bertentangan dengan UU Ciptaker tersebut terkait kewenangan pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang turut berkecimpung dalam hal teknis pelaksanaan program JKP.
Menurutnya, pelaksanaan program JKP dimiliki oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Ketenagakerjaan (BPJS TK). Hal itu diatur dalam Pasal 83 poin 1 UU Ciptaker versi 1.187 halaman.
"Jadi ini tertulis dari UU Ciptaker. Namun ternyata pada Pasal 3 dari PP 37/2021 tentang JKP, dinyatakan bahwa JKP dilaksanakan oleh BPJS TK dan pemerintah pusat. Nah menurut saya, kalau kita bicara tentang keberadaan pemerintah pusat, harusnya memang ada di ranah operasional program, kalau kita membaca seperti ini. Padahal itu tidak pernah ada, dan tidak pernah diamanahkan UU," ujar Netty, dalam Raker Komisi IX DPR bersama Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan BPJS TK, yang disiarkan secara virtual, Rabu (7/3).
Bagi Netty, pemerintah melalui Kemenaker harus bergerak sebagai regulator, pengawas, dan penegak aturan dalam pelaksanaan JKP, bukan sebagai pelaksanaan langsung. Karena itu, dia merasa, aturan PP JKP perlu diubah. "Kalau begini naskahnya antara UU Ciptaker dengan PP 37/2021, artinya PP 37/2021 perlu direvisi, terutama Pasal 3 yang menyebutkan keterlibatan pemerintah pusat, menurut saya ini perlu ditinjau ulang," terang Netty.