Putusan MK punya dampak positif dan negatif. Yang terburuk praktik jual-beli parpol bakal marak.
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20% yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) inkonstitusional. MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Tanpa adanya ambang batas pencalonan, menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, maka semua parpol peserta pemilu nantinya bisa mengajukan calon presiden. Ia meminta KPU membuat aturan turunan UU Pemilu supaya jumlah kandidat yang bakal berlaga di Pilpres 2029 tak membengkak.
"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," kata Wakil Ketua MK Saldi Isra di Gedung MK, Kamis (2/1).
Dosen hukum tata negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Agus Riewanto mengatakan putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden bakal signifikan berdampak pada konfigurasi politik jelang Pemilu 2029 mendatang. Apalagi, putusan teranyar ini dirilis setelah MK menolak 36 kali permohonan uji materi pasal yang sama.
"Sebelum-sebelumnya, putusan MK selalu mengatakan kalau itu (syarat ambang batas) merupakan kebijakan yang tergantung pada pembuat undang-undang yaitu DPR. Hari ini MK membuka kotak pandora terkait presidential threshold," kata Agus kepada Alinea.id, Kamis (2/1).