Pemilu yang sejatinya digelar pada 1968, ditunda dengan alasan pembahasan RUU Pemilu yang tak kunjung usai.
Setelah terjadi tragedi pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat pada akhir September 1965, wibawa Presiden Sukarno mulai redup. Kekuasannya dilucuti karena Pemimpin Besar Revolusi itu dianggap terlibat, atau setidaknya mengetahui, peristiwa G 30 S.
Di sisi lain, Mayor Jenderal Soeharto yang ketika itu menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) dianggap pahlawan penumpas PKI—tertuduh utama kudeta gagal, meski masih kontroversial. Pelan-pelan the Smiling General naik ke panggung kekuasaan.
Sementara suara Sukarno tak lagi didengar. Kekuasaan Sukarno mencapai titik nadir usai pidato pertanggungjawabannya berjudul “Nawaksara” ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada 22 Juni 1966.
Berdasarkan Keputusan Nomor IX/MPRS/1966 dan Nomor XXXIII/MPRS/1967, Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden—belum presiden secara definitif. Setidaknya jabatan itu digenggamnya hingga kelak diadakan pemilihan presiden oleh MPR yang dibentuk dari hasil pemilihan umum (pemilu).
“Telah diputuskan bahwa pemilihan umum harus diadakan selambat-lambatnya pada 5 Juli 1968,” tulis O.G. Roeder dalam buku Soeharto: Dari Pradjurit sampai Presiden (1969).