Perlu ada regulasi khusus yang mengatur eksistensi Kompolnas.
Maraknya kasus-kasus hukum yang melibatkan personel kepolisian dan dugaan keterlibatan Polri dalam politik praktik mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap Polri. Sebagai lembaga pengawas, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dianggap tak bertaji.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai lemahnya kewenangan Kompolnas jadi salah satu penyebab Polri kerap "keluar jalur", termasuk di antaranya dimanfaatkan jadi mesin politik. Perlu ada penguatan kewenangan sehingga Kompolnas tak malah sekadar jadi "tameng" polisi.
"Penggunaan mesin kepolisian sebagai alat politik bukan terjadi di Pemilu 2024 saja, tetapi sejak pilpres secara langsung pada 2004 dan berulang di setiap pemilu. Hanya saja, ini semakin signifikan di tahun 2019 dengan dibentuknya Satgas Merah Putih yang ternyata sangat efektif," kata Bambang kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Sebagai institusi negara, Polri merupakan organisasi besar yang personelnya menyebar di seluruh penjuru negeri. Dengan jumlah anggota mencapai 450 ribu personel plus keluarga mereka, Polri bisa dimanfaatkan para politikus dan penguasa sebagai mesin politik untuk mempengaruhi preferensi politik masyarakat.
Sebagai lembaga pengawas, menurut Bambang, Kompolnas tak banyak bergerak untuk mencegah Polri diseret ke ranah politik praktis. Itu tak terlepas dari posisi Kompolnas yang dilematis. Dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), Kompolnas kerap dianggap sebagai institusi di bawah naungan Polri.