Selama sistem pemilu masih menggunakan pola lama, maka fungsi check and balances di parlemen tetap lemah.
Pengamat kepemiluan Titi Anggraini mengatakan, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 tidak bisa diharapkan dapat memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia dan perbaikan dari sisi hak asasi manusia (HAM).
Menurut Titi, selama sistem pemilu masih menggunakan pola yang ada, maka fungsi check and balances di parlemen tetap melemah. "Kalau menyebut faktor pandemi sebagai faktor satu-satunya, itu kurang pas. Karena sebelum pandemi pun, penurunan kinerja dan kondisi kesehatan demokrasi itu sudah muncul," kata Titi dalam diskusi publik Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bertema "Masa Depan HAM dan Demokrasi di Indonesia", Senin (6/9).
Mengutip data The Economist Intelligence Unit (EIU), Titi menyebut indeks demokrasi Indonesia pada 2020 mengalami penurunan. EIU menyebut, indeks demokrasi Indonesia menduduki peringkat 64 di dunia dengan skor 6,3 atau turun dari periode sebelumnya yakni 6,8.
EIU menyusun indeks demokrasi berdasarkan lima indikator, yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi kinerja pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. "Ini yang menjadi pijakan kita untuk waspada terhadap kondisi kesehatan demokrasi Indonesia," ujarnya.
Titi mengatakan lemahnya check and balances di parlemen menjadi peringatan bagi kondisi kesehatan demokrasi. Hal ini disebabkan oleh sistem politik dan sistem pemilu di Tanah Air saat ini belum memberi insentif pada eksistensi fungsi penyeimbang oleh partai-partai politik.