PPP dan PKB tak lagi menjadi pilihan utama warga Nahdlatul Ulama.
Menjelang pemilu, menarik simpati kaum nahdliyin memang penting demi mendongkrak peroleh suara partai politik atau kandidat calon presiden (capres) yang bertarung. Pada Pilpres 2019 lalu, Joko Widodo “mempersunting” tokoh senior Nahdlatul Ulama Ma’ruf Amin untuk mendapat suara yang masif. Usaha itu terbukti berhasil.
Menuju Pemilu 2024, elite partai politik pun ada yang mendekati Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang tak lain adalah tokoh Nahdlatul Ulama untuk dijadikan calon wakil presiden (capres).
Tak heran, sebab Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Berdasarkan hasil riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2019, Nahdlatul Ulama mendapat persentase 49,5% jumlah anggota dari beberapa organisasi keagamaan lain.
Laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) 2023 menunjukkan, populasi muslim di Indonesia mencapai 237,55 juta jiwa (86,9%) dari total 273,52 juta penduduk. Artinya, ada sekitar 90 juta jiwa yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama atau secara kultural nahdliyin. Tentu jumlah tersebut menjadi bobot strategis mendulang suara.
Memilih partai politik nasionalis