Apabila Pemilu 2024 benar-benar ditunda, maka hal itu sama dengan kudeta konstitusi
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyoroti wacana penundaan Pemilu 2024 yang didukung tiga partai politik seperti PKB, PAN dan Partai Golkar. Menurutnya, apabila Pemilu 2024 benar-benar ditunda, maka hal itu sama dengan kudeta konstitusi (constitutional coup). Yaitu, mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan, yang sebelumnya dibatasi oleh konstitusi.
"Karena Undang-Undang Dasar (1945) secara jelas mengatur pemilu dilaksanakan setiap lima tahun, dan pemilu yang akan datang harus diselenggarakan pada 2024," ujar Anthony dalam keterangannya, Minggu (27/2).
Anthony pun menyoroti alasan wacana penundaan, yaitu alasan ekonomi termasuk keuangan negara dan alasan popularitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai 73,9%. Pangkalnya, kedua hal ini dijadikan alasan utama beberapa parpol untuk mendukung usulan yang bisa mengarah kepada ‘kudeta konstitusi’ seperti dimaksud di atas.
Menurut lembaga survei, lanjut dia, popularitas Jokowi mencapai angka tertinggi sejak 2015. Karena itu, beberapa parpol mengusulkan masa jabatan Jokowi patut diperpanjang. Dalam kaca matanya, alasan popularitas ini dan konsekuensinya (diperpanjang) jelas merupakan bagian awal atau pintu masuk untuk kudeta konstitusi.
Padahal, kata Anthony, popularitas presiden yang tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan kudeta konstitusi, yakni dengan menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden, misalnya, menjadi tiga periode. Kalau ini terjadi, kata dia, maka lima tahun mendatang tingkat popularitas presiden bisa naik lagi, dan masa jabatan presiden bisa diperpanjang lagi, dan seterusnya.
"Sehingga bangsa ini akan terjebak dalam pusaran ‘kudeta konstitusi’ yang tidak berujung pangkal, dan akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia," ungkapnya.
Di samping itu, Anthony menambahkan, survei polularitas presiden ini mengundang banyak pertanyaan dan keraguan. Sebab, kondisi ekonomi riil belakangan ini sepertinya juga sulit memberi pembenaran atas survei tersebut.
Menurut Anthony, pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi merupakan yang terendah dibandingkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode pertama maupun kedua. Pertumbuhan ekonomi rata-rata periode 2014-2019 hanya 5,03% per tahun, jauh lebih rendah dari periode 2004-2009 yang mencapai 5,63% dan periode 2009-2014 sebesar 5,80%. Kalau memperhitungkan tahun 2020 dan 2021, Anthony mengatakan, kinerja ekonomi semakin buruk.
Kemudian, kinerja utang pemerintah juga memburuk. Utang pemerintah periode 2004-2009 naik hanya Rp292,7 triliun (22,6%), periode 2009-2014 naik Rp1.018 triliun (64%), dan periode 2014-2019 naik Rp 2,176 triliun (83,4%). Dalam dua tahun terakhir, 2020 dan 2021, utang pemerintah sudah naik Rp2.124 triliun (44,4%).
"Dari kedua faktor tersebut sulit dipahami popularitas Jokowi bisa naik dan tertinggi sejak 2015, di mana ketika itu, di masa awal pemerintahan, rakyat sedang berbulan madu dan sangat antusias dengan presiden baru yang memberi janji dan harapan besar," tegasnya.
Anthony mengatakan, alasan bahwa pemilu secara umum atau Pemilu 2024 secara khusus, akan menghambat pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, karena itu harus ditunda, merupakan cara berpikir menyesatkan, salah dan fatal. Pangkalnya, taat hukum dan taat konstitusi adalah satu-satunya pegangan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa, lebih dari segalanya, lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi.
Karena, kata dia, pemilu bahkan diperkirakan akan meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, dan memicu pertumbuhan ekonomi. Sebab, anggaran pemilu akan menjadi stimulus ekonomi.
"Jadi, ketakutan pemilu akan menghambat ekonomi tidak beralasan, dan di luar akal sehat," kata Anthony.
Menurut dia, alasan lain yang cukup masuk akal adalah kondisi keuangan negara yang diperkirakan akan semakin sulit pada 2024. Tetapi, penundaan pemilu dari 2024 menjadi, misalnya, 2027 tidak memecahkan masalah.
"Karena tidak ada jaminan keuangan negara pada 2027 akan membaik. Bisa saja semakin memburuk. Kalau itu terjadi, apakah Pemilu akan ditunda lagi?," ujarnya.
Anthony menegaskan, hal yang perlu diingat ialah, Pemilu 1999 dapat dilaksanakan dengan baik, diikuti 48 partai politik, meskipun kondisi keuangan negara ketika itu sedang terpuruk sangat dalam akibat krisis moneter 1997-1998. Yang membuat pemerintah harus mohon pinjaman kepada IMF dengan menyerahkan kedaulatan ekonominya. Pengalaman Pemilu 1999 ini adalah sebuah bukti dan preseden yang mematahkan semua alasan untuk penundaan Pemilu 2024.
Dalam pandangan Anthony, seandainya benar kondisi keuangan negara menjadi bahan pertimbangan yang sangat dominan untuk menunda pemilu, dan keuangan negara 2024 diperkirakan akan semakin sulit, karena defisit anggaran akan kembali menjadi maksimal 3% dari pendapatan domestik bruto (PDB), maka solusinya adalah memajukan Pemilu 2024 menjadi 2022.
Alasannya, lanjut dia, defisit anggaran tahun 2022 masih dibolehkan tidak terbatas. Bank Indonesia pun masih dibolehkan membeli surat utang negara untuk pembiayaan defisit anggaran tersebut. Sehingga, keuangan negara 2022 tidak menjadi masalah sama sekali untuk membiayai pelaksanaan Pemilu.
"Jangan lewatkan kesempatan ini. Karena tahun 2023 keuangan negara akan berjalan normal kembali. Semoga hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi para ketum parpol demi menyelamatkan Pemilu 2024, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia," pungkasnya.