Senandung Efek Rumah Kaca: KPK Bunga yang tak dikehendaki
Grup musik Efek Rumah Kaca angkat suara soal persoalan kebangsaan terkini. Grup band indie ini menyesalkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden Joko Widodo dalam penetapan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Vokalis ERK Cholil Mahmud mengatakan, pembahasan revisi UU KPK menjelang berakhirnya masa jabatan DPR Oktober menjadi puncak upaya pelemahan KPK.
“Kami semua kecewa dan marah atas revisi UU KPK yang dilakukan secara senyap. Kami semua sepakat untuk tetap terus melawan hingga titik darah penghabisan,” kata Cholil belum lama ini.
Pekan lalu Selasa (17/9) ERK turut dalam aksi “Pemakaman KPK” di lobi Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Aksi yang digelar oleh wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi ini dimaksudkan sebagai ungkapan atas matinya KPK dan demokrasi setelah pengesahan revisi UU KPK. Keputusan ini serangkai dengan ditetapkannya lima pimpinan baru KPK untuk periode 2019–2023, Jumat pekan lalu (13/9).
Koalisi tersebut mencakup sejumlah kelompok, antara lain: Indonesian Corruption Watch, YLBHI, Masyarakat Pegiat Antikorupsi, dan sejumlah mahasiswa. Dalam kesempatan itu, Cholil tampil bernyanyi.
Begini lantunannya: “Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh/ Seumpama bunga, kamilah yang rontok di bumi kami sendiri//.
Lagu “Bunga dan Tembok” ciptaan Wiji Thukul itu mengisi keheningan yang merambati ruang lobi Gedung Merah Putih KPK.
Ada sedikit sendu muncul, ketika arak-arakan simbolik peti dan makam dibawa keluar. Beberapa pegawai KPK berjalan membawa poster-poster bertulisan “KPK Mati”.
“Malam ini kita semua berduka. Kita mendengar bahwa gedung di belakang ini bukan lagi menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi. Sejak RUU KPK disahkan, harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sirna,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam orasinya di gedung Merah Putih KPK, Selasa malam itu.
Asfinawati menyampaikan, hasil pimpinan baru KPK dengan rekam jejak bermasalah menunjukkan upaya mengikis taji KPK dalam misi pemberantasan korupsi telah dimulai sedari peran panitia seleksi (pansel).
“Kalau kita lihat secara umum pansel malah menyetujui revisi, ada juga yang menyatakan sebaiknya tidak perlu ada penyadapan, lalu hanya menekankan upaya pencegahan,” kata Asfinawati, Senin (23/9).
Hal itu senada dengan penolakan sejumlah akademisi, ahli hukum, dan aktivis sosial, terlebih dengan terpilihnya Firly Bahuri sebagai Ketua KPK. Selain catatan gelap karena dugaan pelanggaran etik, keterpilihan Firli dinilai melanggar kriteria dan aturan yang berlaku. Adapula keempat pimpinan KPK lainnya tak luput dari catatan minor.
“Hasil itu melanggar kriteria atau aturan calon pimpinan KPK sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Berdasar aturan UU itu, seharusnya yang terpilih bukan orang-orang ini,” katanya.
Dia melanjutkan, ada banyak fitnah yang dilemparkan kepada lembaga KPK beserta anggotanya. Revisi UU KPK adalah jalan utama melumpuhkan KPK. Hal itu, kata dia, membuat dukungan publik kepada KPK menyurut.
“Desakan publik beberapa waktu belakangan tak diperhatikan, baik oleh Presiden maupun DPR. Revisi (UU KPK) ini berfungsi menunjukkan upaya melemahkan KPK,” ujarnya.
Dibandingkan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menurut dia, revisi UU KPK terlalu dipaksakan untuk segera disahkan. Padahal revisi UU KPK juga tidak menjadi prioritas legislasi nasional.
“Dibandingkan revisi UU KPK, pembahasan RUU PKS ditolak mati-matian oleh DPR. Meskipun akhirnya dibahas, proses pembahasan RUU PKS sangat lama dan tidak kunjung ketok palu,” ujarnya.
Setidaknya ada delapan pasal bermasalah dari UU KPK yang baru, yakni Pasal 1 Ayat (6), Pasal 3, Pasal 12B Ayat (1), Pasal 12B Ayat (4), Pasal 24 Ayat (2), Pasal 37B huruf b, Pasal 37E, dan Pasal 40. Pasal-pasal itu menentukan pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) dan perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif. Ketentuan itu diikuti perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, serta kewenangan penghentian penyidikan suatu perkara.
Oleh karena itu, senada dengan Cholil, Asfinawati mengimbau publik untuk berfokus menguatkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi dan menghadang upaya-upaya pelemahan KPK.
“Kami akan berjuang melawan pelemahan KPK untuk mewujudkan negara yang bersih dari korupsi,” ucap Cholil.
Grup musik Efek Rumah Kaca angkat suara soal persoalan kebangsaan terkini. Grup band indie ini menyesalkan sikap Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Presiden Joko Widodo dalam penetapan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Vokalis ERK Cholil Mahmud mengatakan, pembahasan revisi UU KPK menjelang berakhirnya masa jabatan DPR Oktober menjadi puncak upaya pelemahan KPK.
“Kami semua kecewa dan marah atas revisi UU KPK yang dilakukan secara senyap. Kami semua sepakat untuk tetap terus melawan hingga titik darah penghabisan,” kata Cholil belum lama ini.
Pekan lalu Selasa (17/9) ERK turut dalam aksi “Pemakaman KPK” di lobi Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Aksi yang digelar oleh wadah pegawai KPK bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi ini dimaksudkan sebagai ungkapan atas matinya KPK dan demokrasi setelah pengesahan revisi UU KPK. Keputusan ini serangkai dengan ditetapkannya lima pimpinan baru KPK untuk periode 2019–2023, Jumat pekan lalu (13/9).
Koalisi tersebut mencakup sejumlah kelompok, antara lain: Indonesian Corruption Watch, YLBHI, Masyarakat Pegiat Antikorupsi, dan sejumlah mahasiswa. Dalam kesempatan itu, Cholil tampil bernyanyi.
Begini lantunannya: “Seumpama bunga, kami adalah yang tak kau hendaki tumbuh/ Seumpama bunga, kamilah yang rontok di bumi kami sendiri//.
Lagu “Bunga dan Tembok” ciptaan Wiji Thukul itu mengisi keheningan yang merambati ruang lobi Gedung Merah Putih KPK.
Ada sedikit sendu muncul, ketika arak-arakan simbolik peti dan makam dibawa keluar. Beberapa pegawai KPK berjalan membawa poster-poster bertulisan “KPK Mati”.
“Malam ini kita semua berduka. Kita mendengar bahwa gedung di belakang ini bukan lagi menjadi benteng terakhir pemberantasan korupsi. Sejak RUU KPK disahkan, harapan masyarakat terhadap pemberantasan korupsi sirna,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam orasinya di gedung Merah Putih KPK, Selasa malam itu.
Asfinawati menyampaikan, hasil pimpinan baru KPK dengan rekam jejak bermasalah menunjukkan upaya mengikis taji KPK dalam misi pemberantasan korupsi telah dimulai sedari peran panitia seleksi (pansel).
“Kalau kita lihat secara umum pansel malah menyetujui revisi, ada juga yang menyatakan sebaiknya tidak perlu ada penyadapan, lalu hanya menekankan upaya pencegahan,” kata Asfinawati, Senin (23/9).
Hal itu senada dengan penolakan sejumlah akademisi, ahli hukum, dan aktivis sosial, terlebih dengan terpilihnya Firly Bahuri sebagai Ketua KPK. Selain catatan gelap karena dugaan pelanggaran etik, keterpilihan Firli dinilai melanggar kriteria dan aturan yang berlaku. Adapula keempat pimpinan KPK lainnya tak luput dari catatan minor.
“Hasil itu melanggar kriteria atau aturan calon pimpinan KPK sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Berdasar aturan UU itu, seharusnya yang terpilih bukan orang-orang ini,” katanya.
Dia melanjutkan, ada banyak fitnah yang dilemparkan kepada lembaga KPK beserta anggotanya. Revisi UU KPK adalah jalan utama melumpuhkan KPK. Hal itu, kata dia, membuat dukungan publik kepada KPK menyurut.
“Desakan publik beberapa waktu belakangan tak diperhatikan, baik oleh Presiden maupun DPR. Revisi (UU KPK) ini berfungsi menunjukkan upaya melemahkan KPK,” ujarnya.
Dibandingkan dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, menurut dia, revisi UU KPK terlalu dipaksakan untuk segera disahkan. Padahal revisi UU KPK juga tidak menjadi prioritas legislasi nasional.
“Dibandingkan revisi UU KPK, pembahasan RUU PKS ditolak mati-matian oleh DPR. Meskipun akhirnya dibahas, proses pembahasan RUU PKS sangat lama dan tidak kunjung ketok palu,” ujarnya.
Setidaknya ada delapan pasal bermasalah dari UU KPK yang baru, yakni Pasal 1 Ayat (6), Pasal 3, Pasal 12B Ayat (1), Pasal 12B Ayat (4), Pasal 24 Ayat (2), Pasal 37B huruf b, Pasal 37E, dan Pasal 40. Pasal-pasal itu menentukan pembentukan Dewan Pengawas (Dewas) dan perubahan status KPK menjadi lembaga eksekutif. Ketentuan itu diikuti perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, serta kewenangan penghentian penyidikan suatu perkara.
Oleh karena itu, senada dengan Cholil, Asfinawati mengimbau publik untuk berfokus menguatkan peran KPK dalam pemberantasan korupsi dan menghadang upaya-upaya pelemahan KPK.
“Kami akan berjuang melawan pelemahan KPK untuk mewujudkan negara yang bersih dari korupsi,” ucap Cholil.
Bila KPK Tak Ada
Seusai aksi, ERK dan anggota koalisi masyarakat sipil menggelar pembicaraan tertutup di dalam gedung KPK. Akbar Bagus, drummer Efek Rumah Kaca, menuturkan, hasil dari konsolidasi itu adalah akan menyuarakan tuntutan kepada Presiden Jokowi untuk mengambil tindakan atas pengesahan UU KPK yang baru.
“Kami konsolidasi lagi untuk menyuarakan harapan kepada Jokowi agar mau melakukan sesuatu bagi KPK. Prestasi Jokowi jangan cuma membangun jalan, harus bisa lebih. Masyarakat sudah resah dengan pengesahan revisi UU KPK,” ucap Akbar.
Bagi Akbar, UU KPK yang baru memberikan sinyal kemunduran dalam masa depan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
“Siapapun pemimpinnya, kalau undang-undangnya tidak benar pemimpinnya pun nantinya bakal tidak benar,” katanya.
Akbar juga menyebut petisi daring yang menolak revisi UU KPK telah didukung oleh 3.000 orang lebih. Semestinya, kata dia, Presiden Jokowi mau menampung suara rakyat itu. Pasalnya, proses pembahasan revisi UU KPK dinilai terkesan ‘kejar tayang’.
“Sangat terburu-buru dan diam-diam, tidak melibatkan orang KPK,” kata dia.
Akbar berharap, perjuangan Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi untuk menyelamatkan KPK menjadi tonggak awal bagi perjuangan seluruh masyarakat.
“KPK ini harapan publik yang paling kita banggakan. Sayang kalau sampai dimasuki orang-orang yang bermasalah,” ucapnya.
Efek Rumah Kaca juga telah mendorong partisipasi publik untuk menyuarakan pendapat atas pelemahan KPK. Dalam durasi 30 detik, video promosi itu telah menghasilkan 100-an postingan dari warganet di Instagram. Beragam karya video itu tampil dalam beragam rupa untuk menjawab “Bagaimana perasaanmu jika KPK nggak ada?”
Melalui jalur dunia maya, suara dari publik itu secara lantang dan unik mengkritik pemerintah. Perjuangan mendukung pemberantasan korupsi itu akan digelorakan oleh masyarakat luas. Seperti lantunan Cholil malam itu, usaha itu akan terus dijalankan hingga menggebrak dinding parlemen dan Presiden.
“Jika kami bunga, engkaulah tembok itu/T’lah kami sebar biji-biji di tubuhmu/
Suatu saat kami ‘kan tumbuh bersama/Dengan keyakinan kau harus hancur!/Kau harus hancur!/Kau harus hancur!/Kau harus hancur!//.