close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Beberapa penampilan pemeran lakon J.J Sampah-sampah Kota dalam persiapan pentas, Selasa (30/10).
icon caption
Beberapa penampilan pemeran lakon J.J Sampah-sampah Kota dalam persiapan pentas, Selasa (30/10).
Art
Jumat, 01 November 2019 09:30

Teater Koma bakal pentaskan lakon J.J Sampah-Sampah Kota

Lakon J.J. Sampah-sampah Kota merupakan produksi pertunjukan ke-159 dari Teater Koma.
swipe

Kelompok seni pertunjukan Indonesia Teater Koma akan mementaskan lakon J.J Sampah-sampah Kota pada 8–17 November 2019. Pementasan akan dilakukan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 

Pertunjukan ini diangkat dari naskah lakon berjudul J.J. yang ditulis oleh Nano Riantiarno dan pertama kali dipentaskan pada 1979.

Pimpinan Produksi dari Teater Koma Ratna Riantiarno berjanji akan memberikan suguhan pementasan yang apik.

Ratna mengatakan, dibandingkan pementasan 40 tahun lalu, kali ini pertunjukan dibawakan berkonsep baru dan lebih kuat dengan permainan seni visual.

“J.J Sampah-sampah Kota akan dipentaskan dengan interpretasi baru, berbeda dari naskah dan pertunjukan pertama tahun 1979. Pendekatannya lebih ditujukan sesuai dengan generasi muda sekarang,” ujar Ratna. 

Ratna mengungkapkan, pementasan kembali suatu lakon merupakan hal biasa dalam kreasi produksi pertunjukan drama panggung. Sebagaimana Romeo & Juliet atau Sampek dan Engtay, kata dia, banyak drama klasik lainnya yang dipentaskan berulang kali. 

Dia menyebutkan, dalam pentas J.J Sampah-sampah Kota November mendatang, ada sejumlah persoalan yang masih relevan dibahas dalam konteks sekarang, salah satunya isu korupsi.

“Masalah korupsi ini perlu untuk diingatkan lagi,” katanya.

Lakon J.J Sampah-sampah Kota berkisah tentang Jian dan Juhro, sepasang suami-istri yang hidup di sebuah gubuk di kolong jembatan. Jian bekerja sebagai kuli pengangkut sampah.

Ia digaji harian dan tidak punya jaminan masa depan. Meski begitu dia tetap bekerja dengan jujur, rajin, giat, dan gembira. Jian hidup bahagia bersama Juhro yang tengah hamil tua.

Lakon ini secara kritis mempertanyakan nilai kejujuran di tengah situasi bangsa yang rentan memunculkan realitas ketidakadilan dan kebohongan. Berbeda dari naskah aslinya yang menggambarkan perbedaan masyarakat kalangan atas dan bawah, dalam pertunjukan ini Teater Koma mengembangkan karakter dalam cerita menjadi tiga pihak.

Sutradara J.J Sampah-sampah Kota Rangga Riantiarno menjelaskan, ketiga kelompok masyarakat itu meliputi kalangan atas, menengah, dan bawah. Pembedaan ini diwujudkan dengan konsep dan desain pemanggungan yang juga terbagi menjadi tiga level.

“Panggung dibagi tiga bagian, yaitu atas, tengah, dan bawah. Panggung level atas ditempati oleh tokoh Mandor Kepala,” ucap Rangga, yang juga putra pasangan Ratna dan Nano Riantiarno, Rabu (30/10).

Menurut Rangga, tokoh Mandor Kepala adalah metafora bagi pihak yang mengontrol arah kebijakan dan keputusan penguasa. Sementara itu, bagian tengah panggung menjadi area permainan karakter Tiga Pemutus selaku bawahan Mandor Kepala.

“Tokoh Tiga Pemutus ini bisa dilihat sebagai sosok wakil rakyat atau birokrasi pemerintahan,” ucapnya.

Level panggung bawah akan menampilkan permainan akting tokoh-tokoh penghuni kolong jembatan yang bekerja sebagai pemungut sampah. Di panggung terendah inilah tokoh Jian dan Juhro hidup dan tinggal.

Jian dan Juhro selalu diawasi oleh Mandor Kepala dan tiga mandor bawahannya, Tiga Pemutus. Mereka ingin melihat sejauh mana tingkat kejujuran Jian. Hingga suatu hari, Tiga Pemutus menjatuhkan tas berisi uang yang amat banyak di sekitar tempat Jian bekerja. Apakah Jian mampu bertahan untuk hidup jujur?

Seni multimedia 

Lakon J.J. Sampah-sampah Kota merupakan produksi pertunjukan ke-159 dari Teater Koma. Pertunjukan ini juga kesempatan kedua Rangga berperan sebagai sutradara. Sebelumnya, pada 2011, Rangga menyutradarai lakon Antigoneo naskah Antigone Now karangan penulis Evald Flisar dari Slovenia.

Dibandingkan Antigoneo, Rangga menilai produksi dan teknik penyutradaraan bersama Teater Koma kali ini lebih sulit dan menantang. Di samping itu, dia juga memasukkan konsep seni multimedia dalam pemanggungan.

“Secara teknis sewaktu pementasan pertama pada 1979 sulit untuk menghadirkan tokoh Mandor Kepala, sehingga hanya dapat ditampilkan berupa boneka. Di pementasan kali ini, tokoh Mandor Kepala dihadirkan dengan teknologi multimedia,” ucap Rangga.

Rangga bilang, timnya merekam lebih dahulu aktor pemeran Mandor Kepala, lalu menyinkronkan dialog antara karakter Mandor Kepala dan mandor Tiga Pemutus.

Dibandingkan isi cerita dalam naskah aslinya, dalam pertunjukan ini, tokoh-tokoh yang berwatak baik digambarkan bermuka dua. Rangga mengembangkan adegan untuk menggambarkan tokoh-tokoh yang terkesan baik, tapi sesungguhnya berkolusi dengan pihak penguasa.

Hal itu dilakukan Rangga seusai membaca naskah asli dan membandingkannya dengan konteks situasi mutakhir.

“Dalam dunia sekarang kita bisa lihat, orang bisa tiba-tiba pindah dukungan dan pilihan. Setiap orang bisa tiba-tiba loncat ke ‘kapal’ yang berbeda,” ujarnya.

 

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan