"Pembeli gas 3 kg orang-orang mampu, yang miskin masak pakai kayu..."
Bertepatan dengan hari Natal 2021 lalu, PT Pertamina (Persero) resmi menaikkan harga gas nonsubsidi. Kebijakan ini menjadi kado pahit bagi konsumen gas elpiji 5,5 kilogram (kg) hingga 12 kg. Keputusan kenaikan liquefied petroleum gas (LPG) itu bersamaan dengan naiknya harga-harga bahan pangan seperti minyak goreng, cabai, maupun telur ayam.
Ditambah lagi, pemerintah menaikkan harga gas nonsubsidi tanpa woro-woro ke publik sebelumnya.
“Pertama lihat di berita, terus mikir, paling enggak segitu (mahalnya-red). Ehh.. waktu habis terus mau beli, tanya harganya kok mahal banget,” keluh Lucky Marzuki kepada Alinea.id, Selasa (4/1).
Warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan ini menjelaskan sebelum naik, harga gas 12 kg di warung-warung sekitar tempat tinggalnya ada di kisaran Rp139.000 hingga Rp141.000. Namun, setelah penyesuaian harga, gas dengan tabung berwarna biru itu dijual sekitar Rp163.000 hingga Rp165.000.
Bahkan, pemilik kos dan kedai pempek ini makin tercengang saat akan membeli isi ulang gas Selasa kemarin. Harganya sudah mencapai Rp180.000 di warung langganan yang berjarak hanya 200 meter dari rumahnya.
Alinea.id lalu menghubungi narahubung Pertamina melalui nomor 135. Tercatat, untuk seluruh wilayah Indonesia, harga gas 12 kg setelah penyesuaian adalah senilai Rp163.000, dari sebelumnya Rp139.000. Adapun harga Bright gas 12 kg sebelumnya Rp139.000 menjadi Rp163.000 dan harga Bright gas 5,5 kg sebelum naik ialah Rp65.000 menjadi Rp76.000. Sementara untuk harga Bright gas perdana ukuran 5,5 kg saat ini dibanderol dengan harga Rp306.000 dan gas 12 kg seharga Rp513.000.
Kenaikan harga gas yang mencapai Rp24.000 per tabung ini mempengaruhi Lucky untuk beralih menggunakan gas ‘melon’ 3 kg, alih-alih tetap setia pada elpiji 12 kg. Alasannya tak lain disebabkan perbedaan harga yang terlampau jauh antara harga gas melon dengan elpiji 12 kg maupun Bright gas.
“Kalau enggak gitu, yang ada warung pempek saya malah rugi. Udah harga telur mahal, minyak mahal, ini gas segala ikut mahal. Jadi, mau enggak mau ganti,” kata pria 36 tahun itu.
Alhasil saat ini, di pojok dapur Lucky teronggok dua tabung gas elpiji. Satu tabung gas 12 kg yang akhirnya tak terpakai dan satu lagi tabung kecil berwarna hijau terang yang digunakannya untuk memasak dan berjualan pempek Palembang.
Pada akhirnya, kenaikan harga gas nonsubsidi mempengaruhi konsumen bermigrasi ke gas melon. Aksi ini semakin banyak dilakukan, tak hanya oleh Lucky saja. Berbagai alasan digunakan, mulai dari menghemat pengeluaran rumah tangga hingga untuk modal berusaha.
Kondisi ini tak ayal membuat gas melon yang notabene adalah gas bersubsidi untuk masyarakat miskin jadi primadona di tengah konsumen elpiji 12 kg dan Bright gas. Harga murah adalah satu-satunya alasan gas melon menjadi incaran. Pada hari harga gas elpiji nonsubsidi dinaikkan, harga elpiji 3 kg masih ada di kisaran Rp21.000. Sedangkan harga elpiji 3 kg perdana dibanderol di kisaran Rp155.000.
“Setelah ada berita kenaikan harga gas nonsubsidi itu, khususnya yang buat penjualan gas 12 kg, mereka sebenarnya enggak banyak protes. Tapi langsung beli yang 3 kg. Ada yang beli tabung baru, ada yang cuma isi ulangnya aja,” kata salah seorang agen penjualan gas di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan Setianto, kepada Alinea.id, Kamis (6/1).
Melihat migrasi yang dilakukan oleh konsumen gas nonsubsidi ke gas melon, pihaknya mengaku tak bisa berbuat apa-apa. Padahal, dia sadar sepenuhnya bahwa gas subsidi diperuntukkan bagi warga miskin.
“Kalau banyak yang pindah ke yang 3 kg saya juga cuma bisa melayani kayak biasa saja. Kan mereka juga pembeli saya. Jadi ya bisa apa?,” imbuhnya.
Perpindahan konsumsi masyarakat ke gas melon, kata Pengamat Energi Mamit Setiawan, merupakan respon konsumen gas nonsubsidi. Hal ini pun menurutnya lumrah terjadi. Seperti halnya saat cabai mahal dan masyarakat beralih menggunakan cabai kering untuk memasak, fenomena ini terjadi pula saat kenaikan harga gas elpiji 12 kg dan Bright gas.
Singkatnya, konsumen akan lebih memilih membeli produk dengan harga lebih terjangkau, yang mana dalam hal ini adalah gas melon. Tak heran jika kemudian gas 3 kg semakin diburu masyarakat. Bahkan, kondisi ini menyebabkan pasokan gas bersubsidi itu di beberapa agen gas di Indonesia sempat kosong.
“Saya cuma berharap migrasinya tidak signifikan. Jadi tidak akan terjadi kelangkaan elpiji 3 kg,” katanya, saat dihubungi Alinea.id, Kamis (7/1).
Jika kelangkaan sampai terjadi, dia khawatir masyarakat miskin yang merupakan sasaran utama gas 3 kg tak mendapatkan jatah gas bersubsidi tersebut. Apalagi, dengan kelangkaan akan membuat harga gas melon ini ikut melambung.
Mamit mencontohkan, di Luar Jawa, harga gas 3 kg di akhir tahun lalu sempat mencapai Rp30.000 hingga Rp40.000 per tabung. Sedangkan di Jawa, tidak sedikit warung yang menjual gas melon di kisaran Rp25.000 per tabung.
“Kalau ini semakin mahal, khawatirnya masyarakat kurang mampu akan semakin sulit mengakses gas 3 kg ini,” lanjutnya.
Subsidi tertutup
Terpisah, Pengamat Kebijakan Agus Pambagio mengungkapkan, kelangkaan gas melon, menurutnya terjadi karena banyak masyarakat mampu yang mengaku miskin. Padahal, pada Pasal 20 ayat (2) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 26 Tahun 2009, jelas tertulis bahwa LPG bersubsidi 3 kg diperuntukkan hanya bagi rumah tangga miskin dan usaha mikro.
Bahkan, pemerintah telah pula membentuk Tim Pengawasan Penyediaan dan Pendistribusian Elpiji 3 kg sebagaimana dalam ketentuan Pasal 33 Permen ESDM 26/2009 itu. Meski begitu, Agus menyayangkan bahwa segala beleid terkait peruntukan gas bersubsidi itu hanya sekadar tulisan di atas kertas saja.
Tanpa ada implementasi yang sesuai, baik berupa kepatuhan masyarakat mampu hingga ketegasan pemerintah dalam menindak pelanggaran. Ditambah lagi dengan distribusi terbuka, pada akhirnya, peruntukan gas melon lantas menjadi tidak tepat sasaran.
“Karena tidak ada sanksi atau hukuman bagi masyarakat mampu yang membeli, jadi ya mereka terus saja. Bahkan, banyak yang beli gas 3 kg itu adalah orang-orang mampu, sementara yang miskin, masih banyak yang masak pakai kayu,” ujarnya, kepada Alinea.id, Kamis (6/1).
Oleh karena itu, agar pembagian gas bersubsidi bisa benar-benar merata, baik Agus maupun Mamit menyarankan agar pemerintah mengubah skema pemberian subsidi dari terbuka menjadi tertutup. Skema tersebut bisa dilakukan dengan cara apa saja, baik dengan kartu maupun cara lainnya. Asalkan data masyarakat yang terdapat di database dan lapangan sebagai penerima subsidi sesuai.
"Kalau begini kan yang terima subsidinya juga sudah diseleksi, jadi subsidinya memang buat mereka yang benar-benar membutuhkan. Dan orang mampu tidak akan bisa lagi akses elpiji subsidi," beber Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan.
Sementara itu, PT Pertamina (Persero) sadar betul jika kebijakan kenaikan harga yang diambilnya dapat berpotensi meningkatkan migrasi masyarakat mampu untuk menggunakan elpiji 3 kg. Namun, hal ini mau tak mau harus dilakukan, mengingat penyesuaian harga elpiji nonsubsidi terakhir dilakukan pada 2017 silam.
Padahal, harga kontrak LPG Aramco (Contract Price Aramco/ CPA) terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Bahkan, harga CPA pada November 2021 mencapai US$847 per metrik ton. Ini merupakan harga tertinggi sejak tahun 2014 atau meningkat 57% sejak Januari 2021.
"Harga CPA November 2021 tercatat 74% lebih tinggi dibandingkan penyesuaian harga 4 tahun yang lalu," jelas Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading Irto Ginting, kepada Alinea.id, Jumat (7/1).
Karenanya, untuk menekan dampak migrasi konsumen gas nonsubsidi ke gas bersubsidi, pihaknya mengaku akan terus memberikan edukasi kepada masyarakat. Khususnya pengguna elpiji 12 kg dan Bright gas yang berasal dari kalangan menengah ke atas untuk tidak beralih menggunakan gas melon. Sebab, gas bersubsidi sudah diperuntukan bagi masyarakat miskin.
“Ini akan dilakukan bersama-sama dengan seluruh stakeholder dan masyarakat,” tegas Irto.
Sementara itu, sebelumnya Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, pemerintah akan segera melakukan reformasi subsidi energi gas elpiji 3 kg. Hal ini dilakukan dengan mengubah skema subsidi dari yang sebelumnya berbasis komoditas menjadi berdasarkan orang di tahun ini.
Reformasi ini, nantinya akan dilakukan bertahap mulai pertengahan tahun 2022. Sehingga, pada akhirnya subsidi hanya akan diterima oleh 40% masyarakat termiskin saja.
"Ini juga dilakukan dengan mempertimbangkan banyak aspek, khususnya kondisi ekonomi masyarakat," ungkap Febrio, di Jakarta, Jumat (1/1) lalu.
Sebagai informasi, untuk tahun 2022, anggaran subsidi energi di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) tercatat mencapai Rp134 triliun untuk subsidi energi. Termasuk di dalamnya subsidi BBM jenis solar, subsidi elpiji tabung 3 kg, dan subsidi listrik. Anggaran ini masuk ke dalam belanja human capital dari sisi perlindungan sosial.
Sedangkan berdasarkan data Kementerian Keuangan, saat ini subsidi gas melon hanya dinikmati oleh 36% dari 40% masyarakat termiskin di Indonesia. Sebaliknya, 40% orang terkaya justru menikmati 39,5% dari total subsidi elpiji 3 kg.