close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sepanjang 2015-2019 dinilai belum berhasil membawa sektor industri menjadi penopang utama ekonomi nasional.  / Antara Foto
icon caption
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sepanjang 2015-2019 dinilai belum berhasil membawa sektor industri menjadi penopang utama ekonomi nasional.  / Antara Foto
Bisnis
Kamis, 17 Oktober 2019 19:43

5 tahun Jokowi-JK: Sektor industri gagal dongkrak ekonomi nasional

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dinilai tidak memiliki strategi yang jitu di sektor industri.
swipe

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sepanjang 2015-2019 dinilai belum berhasil membawa sektor industri menjadi penopang utama ekonomi nasional. 

Ekonom dan Peneliti Center of Reforms on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan dalam lima tahun kepemimpinannya, Jokowi bahkan tidak memiliki strategi untuk menahan lesunya sektor industri.

Piter menjelaskan, perlambatan pertumbuhan sektor industri terjadi sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kemudian, antisipasi pemerintahan Jokowi pun tidak kelihatan.

"Dia abai, dia menganggap itu suatu yang tidak penting padahal itu suatu yang penting," katanya.

Piter mengatakan, pembangunan ekonomi tidak dapat fokus hanya dari satu sektor saja. Sektor infrastruktur yang dalam lima tahun ini dijadikan Jokowi sebagai fokus utamanya, menurut Piter belum dapat membuat perekonomian tumbuh sehat.

"Saya tidak melihat kegagalan dari Jokowi, cuma kurang maksimal. Dia banyak membangun infrastruktur. Cuman pembangunan ekonomi jangan hanya bertumpu pada satu sektor, harus dikembangkan lagi. Harus ada grand strategi," ujarnya.

Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) sektor industri pada kuartal II-2019 hanya mampu tumbuh sebesar 3,5%, melambat dibanding triwulan I-2019 sebesar 3,86%. 

Hal ini, lanjut Piter, didorong oleh hilirisasi industri yang tidak berjalan. Derasnya barang impor yang masuk, juga turut memukul pertumbuhan industri dalam negeri.

Padahal, katanya, tren neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa tahun belakangan selalu surplus. Sedangkan di September ini saja neraca perdagangan mengalami defisit sebesar US$160,5 juta. 

"Sekarang defisit karena barang-barang komoditi sekarang turun. Dan impornya besar," ujarnya.

Ia pun menuturkan, di tengah ketidaksiapan industri dalam negeri, pemerintah malah sibuk membuka pasar bebas dengan penandatanganan sejumlah perjanjian dagang internasional seperti Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dan Free Trade Agreement (FTA).

Hal tersebut, ucapnya, bukan malah menaikkan ekspor Indonesia, tapi malah membuka arus impor barang dari luar negeri masuk. Karena, katanya, barang-barang industri dalam negeri tidak diproduksi dan masih memiliki ketergantungan dengan impor bahan baku dan barang modal dari luar.

"Secara natural mau tidak mau ekspor kita harus tumbuh. Kita tidak punya strategi menahan laju impor. Kita sibuk bikin CEPA dan FTA. Kita harus evaluasi perjanjian internasional ini," ucapnya.

Lebih jauh, dia mengatakan, yang pertama harus dipikirkan oleh pemerintahan ke depan adalah bagaimana meningkatkan pertumbuhan industri. Pasalnya, katanya, jika ke depan pemerintah akan fokus kepada sumber daya manusia (SDM) maka sektor industri harus ditingkatkan.

"Karena yang akan menyerap angkatan kerja manusia Indonesia adalah sektor industri. Yang akan menaikan pertumbuhan perekonomian juga dari sektor industri," jelasnya.

Selain itu, dia mengatakan Indonesia harus mengubah struktur ekonominya, tidak lagi bertumpu pada barang komoditi seperti tambang dan karet, namun harus kembangkan industri hilir dan juga mengurangi impor. 

"Namun ketika impor dibatasi kita harus bangun industri. Karena bahan baku yang kita butuhkan harus disediakan dulu. Kita harus petakan industri kita seperti apa," tukasnya.

Mimpi buruk deindustrialisasi

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengakui bahwa terjadi penurunan pertumbuhan sektor industri dalam negeri. Ia pun menuturkan, salah satu masalah yang menghambat pertumbuhan industri adalah pengurusan izin. 

“Sistem Online Single Submission (OSS) berjalan terlambat dan baru bisa dilihat tahun depan dampaknya. Belum lagi masalah perizinan di daerah yang susah. Di pusat sudah, tapi di daerah susah," ujarnya.

Meski demikian, JK menampik anggapan bahwa Indonesia memasuki fase deindustrialisasi. JK menyatakan industri dalam negeri hanya mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan sektor lainnya.

"Ekonomi kita berkembang tapi yang lebih meningkat dipengaruhi sektor lain yang lebih cepat tumbuh daripada sektor industri. Industri nggak turun tapi naik lebih rendah dibandingkan yang lain," katanya.

JK menjelaskan, jika dibandingkan dengan sektor mineral dan hasil perkebunan seperti sawit, sektor industri memang mengalami penurunan. Namun, dia mengatakan, secara nominal industri masih naik.

Di sisi lain, JK juga mengungkapkan perlambatan sektor industri tidak hanya dialami Indonesia tetapi juga dialami oleh sejumlah negara lainnya. Hal ini, ucapnya, dipengaruhi oleh perang dagang yang terjadi.

Efeknya ke Indonesia yaitu produk dalam negeri dibanjiri barang impor dari China yang mengalihkan pasarnya ke Indonesia. Apalagi, Indonesia memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan China.

"Terjadilah persaingan industri kita yang belum baik antara ekspor dan impor. Makanya baja menghantam krakatau steel. Tekstil di Jawa Barat juga kalah saing. Sehingga terjadi situasi ekonomi yang banyak tantangan," jelasnya.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Laila Ramdhini
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan