6 sektor ini terdampak paling parah akibat Covid-19
Ada enam lapangan usaha yang berpotensi terdampak cukup parah akibat pandemi coronavirus disease 2019 atau Covid-19. Mencakup penyedia akomodasi, dan makanan dan minuman, perdagangan, transportasi dan pergudangan, konstruksi, industri pengolahan, dan jasa lainnya.
Menurut lembaga riset SMERU dalam kajian terbarunya, situasi tenaga kerja di enam sektor ini dapat menjadi informasi dasar bagi pembuat kebijakan dalam menyusun strategi yang efektif. Terutama untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.
Krisis ekonomi yang dipicu oleh pandemi Covid-19 memengaruhi situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Pengurangan kegiatan ekonomi lewat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang dilakukan untuk menghambat penyebaran coronavirus menimbulkan kontraksi ekonomi di berbagai sektor. Hambatan perdagangan dengan mitra dagang Indonesia juga berdampak hal serupa.
Akibatnya, sejumlah tenaga kerja terpaksa dirumahkan untuk sementara waktu. Bahkan sebagian lainnya mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Banyak pekerja sektor informal kehilangan pekerjaan. Penurunan jumlah pekerja ini akan terus terjadi seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang, menurut Badan Pusat Statistik, pada triwulan pertama 2020 hanya sebesar 2,97%.
SMERU mengelompokkan berbagai karakteristik tenaga kerja di enam sektor itu berdasarkan jenis kelompok pengeluaran (sebagai proksi kesejahteraan), status formal/informal, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan. Enam lapangan usaha ini dipilih karena proporsi tenaga kerjanya relatif besar: 70,5 juta.
Kelompok pengeluaran tenaga kerja
Sebagian besar tenaga kerja di lapangan usaha yang terdampak krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 berasal dari kelas menengah. Pengecualian hanya terjadi di sektor konstruksi. Guncangan membuat kelompok menengah ini masih memiliki kemampuan bertahan yang lebih baik ketimbang kelompok masyarakat lebih miskin atau 40% terbawah. Mereka masih mempunyai tabungan atau aset sosial.
Namun, SMERU mengingatkan, lebih dari setengah kelompok menengah ini berada di awal karier, sehingga tabungannya pun masih terbatas. Jika krisis berlarut, ada kemungkinan tabungan mereka habis. Hal ini akan meningkatkan kerentanan tenaga kerja dari kelompok menengah.
Kelompok ini tidak termasuk dalam basis data program perlindungan sosial pemerintah. Kemungkinan besar tidak mendapat bantuan sosial. Pemerintah hanya menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai dasar pemberian bantuan. Kebijakan pemerintah untuk melakukan penargetan dengan cara lain, catat SMERU, sudah menuju arah yang tepat untuk menjangkau kelompok menengah ini.
Status formal-informal
Sektor penyedia akomodasi, dan makanan dan minuman; transportasi dan pergudangan; dan perdagangan didominasi oleh pekerja informal. Sebaliknya, sektor konstruksi, industri pengolahan, dan jasa lainnya didominasi pekerja formal. Status formal-informal ini berpengaruh terhadap cara tenaga kerja beradaptasi dengan situasi krisis dan juga pendekatan intervensi kebijakan penanggulangan pengangguran.
Sebagai contoh, pekerja sektor informal lebih mudah mengubah jenis usaha (lebih fleksibel) ketimbang pekerja formal. Akan tetapi, pekerja informal memiliki akses terbatas terhadap program perlindungan sosial dan program pemerintah lainnya.
Sebagai contoh, program Pemulihan Ekonomi Nasional yang dirancang untuk menanggulangi dampak krisis Covid-19 sampai saat ini baru menyasar sektor formal. Oleh sebab itu, SMERU mengingatkan perlunya juga kebijakan/program penanggulangan krisis yang menargetkan pekerja di sektor informal.
Jenis kelamin tenaga kerja
Sektor transportasi, perdagangan, konstruksi, dan industri pengolahan didominasi laki-laki. Sementara sektor jasa lainnya dan penyedia akomodasi, dan makanan dan minuman didominasi perempuan. Dibandingkan negara Asia Tenggara lain, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia tergolong rendah.
Krisis akibat pandemi Covid-19 berpotensi makin menekan tingkat partisipasi kerja perempuan. Hal ini dapat terjadi karena proporsi perempuan yang bekerja di sektor jasa lainnya dan penyedia akomodasi, dan makanan dan minuman lebih besar daripada laki-laki. Peluang mereka di-PHK atau dirumahkan cukup besar.
Capaian pendidikan
Keenam sektor didominasi oleh tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMA, kecuali sektor konstruksi yang didominasi lulusan SD. Masalahnya, makin rendah tingkat pendidikan pekerja makin terbatas pilihan pekerjaannya pada kelompok pekerjaan dengan keterampilan rendah. Hal ini meningkatkan kerentanan mereka di pasar tenaga kerja.
Pekerja dengan tingkat pendidikan rendah cenderung memiliki peluang kehilangan pekerjaan yang lebih besar daripada mereka yang berpendidikan lebih tinggi, khususnya di sektor konstruksi. Bagi SMERU, latar belakang pendidikan tenaga kerja yang berpotensi terdampak krisis memberikan informasi penting terkait pendekatan intervensi kebijakan penanggulangan pengangguran yang harus diambil.
Sebagai contoh, krisis akibat pandemi Covid-19 berpotensi mengubah struktur lapangan kerja dan dunia bisnis karena pekerjaan yang berhubungan dengan teknologi informasi dan komunikasi berpotensi memainkan peranan penting ke depan. Karena itu, peningkatan kapasitas pencari kerja terkait teknologi, misalnya melalui pelatihan, menjadi sangat penting. Ini disesuaikan dengan tingkat pendidikan peserta.