close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ABAC mendukung upaya RI untuk membawa persoalan boikot produk kelapa sawit oleh Uni Eropa ke WTO. Alinea.id/Soraya Novika
icon caption
ABAC mendukung upaya RI untuk membawa persoalan boikot produk kelapa sawit oleh Uni Eropa ke WTO. Alinea.id/Soraya Novika
Bisnis
Jumat, 26 April 2019 17:01

ABAC dukung RI bawa boikot sawit oleh Uni Eropa ke WTO

ABAC mendukung upaya RI untuk membawa persoalan boikot produk kelapa sawit oleh Uni Eropa ke WTO.
swipe

APEC Business Advisory Council (ABAC) mendukung rencana aksi litigasi pemerintah Indonesia dan negara-negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/ CPOPC) dalam membawa kasus pemboikotan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) ke World Trade Organization (WTO). 

Chairman ABAC 2019 Richard von Appen mengatakan ketegangan dagang adalah hal yang lumrah dan langkah pemerintah membawa kasus dagang tertentu ke WTO adalah tepat.  Sebab, kehadiran organisasi tersebut memang diharapkan bisa menemukan sumber masalah yang membuat perdagangan terasa berat sebelah bagi pihak yang ingin memasuki perdagangan global.

"Kami ingin membantu mereka yang tidak memiliki suara, dan penting untuk mengungkit kasus ini dan menunjukan dunia ada banyak talenta yang menantikan peluang (untuk bergabung di perdagangan global)," ujar Chairman ABAC 2019 Richard von Appen dalam konferensi pers ABAC II 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta, Jumat (26/4).

Ia juga berharap persitegangan kepentingan ini dapat cepat berakhir berdasarkan aturan yang berlaku. 

"Ketegangan dagang ini, saya harap mereka hanya sementara," tambahnya.

Pada kesempatan yang sama, Chairman of Regional Economic Integration Working Group Sir Rod Eddington turut mengutarakan dukungan serupa. Ia menegaskan peran WTO ialah untuk memastikan tak ada negara yang semena-mena terhadap kepentingan negara lainnya dalam transaksi perdagangan internasional.

"WTO memainkan peranan krusial dalam membantu negara-negara menyelesaikan pertikaian dagang. Dan saya pikir WTO terutama penting bagi negara dengan ekonomi kecil. Tanpa WTO, negara-negara dengan ekonomi besar akhirnya akan mengatur peraturan," kata Eddington. 

Eddington mengajak agar berbagai pihak memercayai peran WTO dalam sengketa kasus. Ketegangan dagang soal minyak sawit juga ia harapkan cepat berakhir karena aksi retalisasi akan merugikan semua pihak.

"Aksi retalisasi, balas berbalas, hanya akan merugikan ekonomi, terutama ekonomi-ekonomi kecil," ucapnya.

Sebelumnya, Misi Gabungan Negara-negara CPOPC, yakni RI, Malaysia, dan Kolombia telah mencapai kesepakatan bersama terkait kebijakan Uni Eropa yang mendiskriminasi CPO. Semuanya sepakat menentang kebijakan tersebut.

Pemerintah RI bahkan tengah dalam proses pembentukan satuan tugas (satgas) khusus atau task force untuk melawan kebijakan tersebut juga disiapkan untuk menghadapi langkah litigasi ke WTO bila kebijakan tersebut diresmikan di Benua Biru. 

Kebijakan yang dimaksud tertuang dalam The delegated act dari beleid Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II).

Beleid ini secara jelas merencanakan penghapusan secara bertahap penggunaan biofuel berbasis minyak kelapa sawit (CPO) hingga mencapai 0% pada 2030. Minyak kelapa sawit ditempatkan dalam daftar komoditas berisiko untuk kepentingan bahan bakar nabati atau High and Low ILUC Risk Criteria on biofuels

Meski belum diterapkan, kebijakan ini rencananya secara resmi bakal berjalan setelah mendapat ijin dari sidang Parlemen Eropa paling lambat 15 Mei 2019 mendatang.

Asia Pasifik

Sementara itu, para pemimpin bisnis di Asia-Pasifik yang tergabung dalam APEC Business Advisory Council (ABAC) sepakat untuk mendorong pemimpin negara-negara di Asia-Pasifik (Aspas), menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat ekonomi global, di tengah kondisi perekonomian dunia yang saat ini mengalami tekanan.

Ketidakkondusifan perekonomian global tersebut tergambar dari kebijakan International Monetary Fund (IMF) yang beberapa waktu lalu menurunkan pertumbuhan outlook ekonomi global ke level paling rendah sejak Krisis finansial global. Selain itu, WTO juga meramalkan bahwa total perdagangan barang bakal turun 2,6% tahun ini.

Untuk mewujudkan itu, melalui pertemuan ABAC yang digelar di Jakarta, sejak 23 April 2019 lalu, Chairman ABAC Richard Von Appen mengungkapkan, para pemimpin bisnis dari 21 negara Aspas semakin serius memperkuat komitmen implementasikan keterbukaan dan integrasi ekonomi antar-kawasan.

"Tidak pernah ada waktu yang lebih tepat, dalam menunjukkan komitmen kami terhadap keterbukaan dan integrasi ekonomi yang lebih dalam. Meskipun dengan berbagai turbulensi global saat ini, kami optimistis bahwa Asia Pasifik bisa melewatinya," ujar Appen.

Karenanya, lanjut dia, agar hal itu bisa terealisasi, maka pemerintah perlu memfokuskan kebijakan seperti menghilangkan hambatan investasi dan perdagangan barang dan jasa, hingga membangun kapasitas usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan perempuan.

Selain itu, juga perlu meletakkan fondasi strategis bagi tenaga kerja yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, mempercepat perubahan ekonomi struktural di dalam ekonomi masing-masing. Serta memastikan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan dan memaksimalkan potensi yang telah disediakan oleh era digital.

"Kita membutuhkan infrastruktur yang memfasilitas itu dan regulasi yang mudah. Dari sisi bisnis, kita mencoba menghubungkan produk UMKM dengan 21 negara ekonomi, sehingga masyarakat bisa menjual produknya di area perdagangan," tuturnya.

Di luar itu, dia juga menambahkan, fokus yang menjadi penting perlu menjadi perhatian pemerintah adalah ekonomi inklusif untuk memastikan distribusi kekayaan dapat disebarkan secara merata.

Untuk itu, di kesempatan tersebut di sampaikan juga bahwa ABAC Indonesia juga turut berperan dalam mendorong akses yang lebih luas terhadap layanan keuangan seperti tabungan, asuransi, pensiun, dan pembayaran non-tunai di mana hal tersebut saling melengkapi. 

Merujuk laporan World Bank Global Findex 2017, pada 2017, Indonesia mengalami kemajuan paling pesat dalam mendorong akses inklusi keuangan dari 20% di tahun 2011 menjadi 49% pada 2017. 

Hal tersebut terwujud sebab didorong oleh program pengentasan kemiskinan pemerintah melalui jalur non-tunai. Salah satunya didukung oleh Bank Mandiri yang menyalurkan Rp3,2 triliun dalam Program Keluarga Harapan (PKH) dan Rp17,6 triliun dalam berbagai program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
 

img
Soraya Novika
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan