Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengakui Indonesia menghadapi tantangan yang besar di bidang sumber daya manusia (SDM). Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kemenko Perekonomian, Rudy Salahuddin, mengatakan ada ketidaksesuaian antara kemampuan (skill) dan kebutuhan industri terhadap tenaga kerja Indonesia.
"Ada miss match 50% tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Kemudian ada tantangan otomatisasi juga," kata Rudy di Jakarta, Selasa (22/10).
Rudy melanjutkan untuk menyelesaikan persoalan ini, Kemenko Perekonomian dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) telah mengembangkan peta jalan (roadmap) yang bisa dijadikan acuan untuk pendidikan vokasi bagi tenaga kerja.
"Kita juga akan mengembangkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang bisa digunakan tenaga kerja untuk re-skilling. Kami ingin keterlibatan industri lebih baik lagi," ujar Rudy.
Selain itu, lanjut Rudy, pemerintah juga telah menerbitkan aturan tentang super deduction tax vokasi bagi wajib pajak badan melalui Peraturan Menteri Keuangan 128/PMK.010/2019. Program pemagangan, atau pembelajaran untuk pengembangan kompetensi tertentu dapat menerima pengurangan penghasilan bruto hingga 200% dari biaya yang dikeluarkan tersebut.
"Agar insentif pajak tepat sasaran, pemberian insentif diberikan ke enam sektor, manufaktur, agribisnis, ekonomi digital, pariwisata, kesehatan, dan pekerja migran. Harapan kami insentif ini dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh industri," tutur Rudy.
Sementara itu, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Syarif Ibrahim Busono Adi mengatakan ada kesenjangan antara suplai dan kebutuhan dari tenaga kerja Indonesia sehingga membuat lulusan vokasi banyak yang menganggur.
Syarif menjelaskan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2019, dilihat dari tingkat pendidikan, Tingkat Penganggursa Terbuka (TPT) tertinggi ada pada SMK, yaitu sebesar 8,63%, dan terendah lulusan SD sebesar 2,65%.
"Untuk memperbaiki masalah tersebut, kunci utamanya perbaikan sistem pendidikan di Indonesia, tidak lagi supply driven, tapi demand driven. Kurikulum yang diajarkan di sekolah, harus mengikuti dunia usaha," ujar Syarif dalam kesempatan yang sama.
Implementasinya, lanjut Syarif, adalah melalui sistem ganda yaitu sekolah dan magang. Masa pendidikan siswa vokasi, kata Syarif, sebesar 30% akan berupa teori dan 70% berupa working experience.
Syarif pun mengatakan, untuk mendukung program 70-30, pemerintah memberikan berbagai macam fasilitas, termasuk super deduction tax vokasi. Hanya saja, Syarif mengingatkan fasilitas pajak tersebut sifatnya last resort.
"Yang harus dilakukan adalah memberikan kebijakan non-fiskal terlebih dahulu, karena kalau kita memberikan kebijakan fiskal terlebih dahulu, sifatnya akan distorsi," katannya.