ADB: Indonesia harus beralih ke ekonomi hijau
Perubahan iklim akan berdampak negatif bagi dunia. Di mana 122 juta orang di dunia terancam miskin akibat perubahan iklim. Ekonomi global akan menyusut 3% pada 2050 akibat kurangnya ketahanan iklim. Meningkatnya risiko banjir di 136 kota pantai di dunia yang dapat menyebabkan kerugian secara global sebesar US$6 miliar. Hasil panen global diproyeksikan berkurang 5% pada 2030 dan 30% pada 2080 akibat perubahan iklim .
Deputy Country Director ADB untuk Indonesia Said Zaidansyah mengatakan, Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar ke-4 di dunia, dan berisiko menjadi salah satu negara yang paling terdampak perubahan iklim. Hal tersebut akan menjadi ancaman terhadap pencapaian pembangunan dan prospek masa depan.
Risiko ini diperbesar oleh kondisi geografis kepulauan Indonesia. Di mana Indonesia memiliki daerah yang rentan bencana alam, kota-kota besar terancam oleh naiknya permukaan laut, deforestasi dan degradasi lingkungan yang terus berlangsung.
“Maka hal yang perlu dlakukan adalah, segera beralih ke ekonomi hijau atau pemulihan hijau,” katanya dalam webinar dengan tema “Keluar Dari Ekonomi Ekstraktif, Menuju Hijau dan Inklusif” melalui kanal Youtube Greenpeace Indonesia, Kamis (18/3).
Said menyebutkan, secara umum ekonomi hijau bisa dikatakan sebagai sistem atau pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan, dapat mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis, serta mendorong pembangunan berkesinambungan, rendah karbon, dan inklusif.
Asian Development Bank (ADB) sendiri memiliki Country Partnership Strategy for Indonesia. Strategi ini adalah hasil diskusi dengan pemerintah mengenai area apa saja yang sebaiknya menjadi fokus dari ADB selama kurun waktu tertentu.
“Di dalam Asian Development Bank’s Country Partership Strtaegy for Indonesia dari 2020-2024, kami menyepakati tiga wilayah utama yang ADB bercimpung membantu pemerintah sebagai development partner,” ujar Said.
Tiga wilayah tersebut, akan memperkuat empat area yang menjadi prioritas ADB. Pertama, mitigasi, adaptasi, dan perubahan iklim. Antara lain melalui peningkatan investasi energi rendah karbon dan transportasi, dan mendukung adaptasi perubahan iklim bagi kelompok masyarakat miskin atau rentan.
Kedua, melakukan kesinambungan lingkungan dan pemulihan hijau. Adapun yang dicapai adalah dengan mendukung perlindungan laut, pengolahan limbah, konversi sampah ke energi, serta pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
Ketiga pengelolaan riisiko bencana, baik bencana alam maupun pandemi. Hal ini dilakukan dengan mendukng pemerintah dalam berbagai opsi pembiayaan. Keempat, ketahanan air dan pangan. Melalui pengelolaan banjir yang lebih baik di daerah pesisir, perbaikan sistem irigasi, mendorong investasi dalam sektor pertanian, dan sebagainya.
Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementrian PPN/Bappenas Arifin Rudianto mengatakah, Indonesia sudah memiliki skenario agar dapat lepas dari middle income trap (MIT) pada 2036, dalam tumbuhan rata-rata antara 6% sampai 7%. Namun adanya pandemi membuat skenario tersebut sedikit terhambat. Sehingga Bappenas mendorong adanya transformasi ekonomi untuk mengembalikan pembangunan Indonesia yang berkelanjutan.
"Terlebih lagi, pandemi Covid-19 juga dianggap sebagai salah satu manifestasi krisis alam. Rangkaian peristiwa ini menunjukkan, ketidakseimbangan ekosistem perubahan iklim dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, perlu ditempatkan sebagai isu pembangunan yang harus ditangani secara serius," papar Arifin.
Hal tersebut sejalan dengan Artikel 3.4 of UNFCCCC yang menyatakan, negara-negara harus mengedepankan aspek pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut, artikel tersebut memberikan masukan agar Indonesia mengintegrasikan kebijakan penanganan perubahan iklim ke dalam perencanaan pembangunan nasional.
Indonesia sudah melakukan dengan mengintregasikan pembangunan rendah karbon sebagai salah satu program priorotas dalam Rencanan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Kami meyakini ekonomi hijau dan investasi hijau akan menjadi katalis pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Ekonomi hijau dan investasi hijau dinilai mampu mendorong pengembangan teknologi baru, meningkatkan produktivitas, serta menciptakan lapangan pekerjaan. Tentunya kami tidak ingin bahwa lapangan kerja baru hanya menekankan pada labour intensive atau case for work namun juga turut mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan dampaknya terhadap lingkungan," papar dia.
Tak hanya itu saja, upaya menuju ekonomi hijau salah satunya dengan mendorong stimulus fiskal hijau (green fiscal stimulus) untuk menjadi bagian pemulihan ekonomi nasional dan transformasi ekonomi.
Sebagai tahap awal, stimulus hijau difokuskan pada tiga sektor prioritas, yakni energi, pengelolaan limbah, dan perkebunan rakyat. Stimulus fiskal hijau menjadi penting sebagai pondasi untuk berkebutuhan jangka panjang serta sebagai dasar utk menuju transformasi ekonomi.
“Dalam transisi tranformasi energi misalnya, dari sisi pemerintah kebijakan di bidang energi perlu terus didorong untuk mempermudah pihak swasta dan UMKM dalam berinvestasi di bidang energi baru dan terbarukan.” ucap Arifin.
Sebagai langka awal, pemerintah tengah mendorong inisiasi stimulus fiskal hijau melalui pemasangan PLTS Atap ini dengan melibatkan sedikitnya 700 orang untuk pemasangan logistik dan pemeliharaan. Pemasangan PLTS Atap ini juga akan menciptakan tenaga kerja baru dan akan menjalani keberlangsungan lapangan kerja di Industri manufaktor panel surya lokal.
Dalam hal peningkatan pengelolaan persampahan, Bappenas memperkuat UMKM di sektor pengelolaan persampahan, sehingga meningkatkan perekonomian sekaligus melindungi lingkungan.
“Dengan memberikan dukungan berupa stimulus kepada sebanyak lima ribu UMKM diperkirakan dapat meningkatkan daur ulang sampah sebesar 40.000 ton per harinya yang senilai dengan manfaat ekonomi sebesar Rp23 triliun per tahun. Sekaligus menciptakan sampai 75.000 tenaga kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan kurang lebih 850.000 pemulung di Indonesia. Stimulus ini juga mampu mendatangkan manfaat pengurangan emisi mencapai sekitar 146 juta CO2 dalam jangka waktu 20 tahun,” kata Arifin
Sementara Wakil Ketua Umum Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup Kadin Indonesia Halim Kalla mengatakan, ekonomi hijau merupakan hasil kesepakatan lingkungan, untuk mengatasi perubahan iklim dan dampak negatifnya. Juga dapat mengurangi emisi gas kaca atau emisi gas karbon hingga 29% dengan upaya sendiri pada 2030 sampai 41%, dengan kerja sama internasional pada 2050 dan juga mencegah kenaikan suhu bumi.