Adrian Gunadi jelaskan strategi bisnis Investree pada 2019
Perusahaan financial technology (fintech) berbasis pinjam meminjam PT Investree Radhika Jaya (Investree) menargetkan penyaluran dananya bisa mencapai Rp2,5 triliun pada 2019. Angka ini meningkat 50,8% secara year on year (yoy) dari dana penyaluran 2018 senilai Rp1,23 triliun.
Co-Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi, mengatakan strategi untuk mencapai target ini, melalui perluasan produk dan kerja sama ekosistem yang terintegrasi melalui perusahaan manufaktur, e-commerce, maupun logistik.
"Segmen borrower (peminjam) kami kan Usaha Kecil Menengah (UKM), menghubungkan bisnis dengan bisnis, bukan fintech P2P lending yang menyasar pasar individu atau konsumtif. Jadi, ekspansi pasar kami seperti itu," kata Adrian saat wawancara ekslusif dengan Alinea.id, Jumat (24/2).
Adapun jumlah peminjam Investree hingga Januari 2019 mencapai 900 UKM. Angka tersebut naik tiga kali lipat dari tahun lalu yang hanya 300 UKM.
"Yang terdaftar itu 900 UKM berbadan hukum. Mereka melakukan hampir 3.700 peminjaman. Jadi, banyak di antara mereka melakukan peminjaman ulang," jelas Adrian.
Sementara itu, jumlah lender atau pemberi pinjaman terdaftar di Investree per Desember 2018 sudah mencapai 50.000 orang. Namun, total aktif lender hanya 10.300 orang.
"Kami menargetkan banyak institusi yang masuk menjadi lender, seperti perbankan dan multifinance. Saat ini BRI, Indosurya dan perusahaan finance dari Jepang sudah terdaftar menjadi lender kami," ujarnya.
Sebanyak 60% dari lender individu berusia dikisaran 25-30 tahun. Sisanya di atas usia 25-30 tahun.
Hingga kini, angka kredit macet perusahaan masih sangat positif, yakni 0%. Ini tidak terlepas dari potensi UKM potensi sangat baik. Investree selalu menargetkan angka kredit macet tidak lebih dari 1%.
Perusahaan financial technology (fintech) berbasis pinjam meminjam PT Investree Radhika Jaya (Investree) menargetkan penyaluran dananya bisa mencapai Rp2,5 triliun pada 2019. Angka ini meningkat 50,8% secara year on year (yoy) dari dana penyaluran 2018 senilai Rp1,23 triliun.
Co-Founder dan CEO Investree Adrian Gunadi, mengatakan strategi untuk mencapai target ini, melalui perluasan produk dan kerja sama ekosistem yang terintegrasi melalui perusahaan manufaktur, e-commerce, maupun logistik.
"Segmen borrower (peminjam) kami kan Usaha Kecil Menengah (UKM), menghubungkan bisnis dengan bisnis, bukan fintech P2P lending yang menyasar pasar individu atau konsumtif. Jadi, ekspansi pasar kami seperti itu," kata Adrian saat wawancara ekslusif dengan Alinea.id, Jumat (24/2).
Adapun jumlah peminjam Investree hingga Januari 2019 mencapai 900 UKM. Angka tersebut naik tiga kali lipat dari tahun lalu yang hanya 300 UKM.
"Yang terdaftar itu 900 UKM berbadan hukum. Mereka melakukan hampir 3.700 peminjaman. Jadi, banyak di antara mereka melakukan peminjaman ulang," jelas Adrian.
Sementara itu, jumlah lender atau pemberi pinjaman terdaftar di Investree per Desember 2018 sudah mencapai 50.000 orang. Namun, total aktif lender hanya 10.300 orang.
"Kami menargetkan banyak institusi yang masuk menjadi lender, seperti perbankan dan multifinance. Saat ini BRI, Indosurya dan perusahaan finance dari Jepang sudah terdaftar menjadi lender kami," ujarnya.
Sebanyak 60% dari lender individu berusia dikisaran 25-30 tahun. Sisanya di atas usia 25-30 tahun.
Hingga kini, angka kredit macet perusahaan masih sangat positif, yakni 0%. Ini tidak terlepas dari potensi UKM potensi sangat baik. Investree selalu menargetkan angka kredit macet tidak lebih dari 1%.
Selain itu, Investree baru saja meluncurkan produk baru berbasis syariah pada Selasa (30/1). Produk Investree Syariah ini sudah melakukan uji coba layanan sejak November 2017. Kendati baru diperkenalkan, tetapi total pembiayaan Investree Syariah sudah mencapai Rp2,7 miliar dengan 1.340 lender dan 313 borrower.
Hadirnya Investree Syariah merupakan salah satu inisiatif dan terobosan, dalam meningkatkan inklusi dan literasi finansial syariah yang sejalan dengan agenda pemerintah.
Sebagai inisiator fintech syariah, terutama fintech financing syariah, Investree telah melakukan koordinasi dan diskusi intensif dengan pihak regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) untuk meluncurkan produk ini.
Investree Syariah merupakan layanan pembiayaan usaha syariah yang dijamin dengan menggunakan tagihan atau invoice financing yang dirancang dengan skema syariah melalui akad Al Qardh untuk pemberian dana talangan.
Adapun akad Wakalah Bil Ujrah untuk penunjukan lender sebagai wakil dalam melakukan penagihan invoice untuk mendapatkan ujrah atau imbal hasil atas jasa penagihan yang dibayarkan borrower.
Adrian menilai, pasar syariah berpotensi sangat besar. Pasalnya, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. "Selama ini produk syariah kurang berkembang mungkin karena produk perbankan syariah masih tradisional dan belum banyak menekankan pada segmen teknologi dan memanfaatkan digital. Padahal semua sudah bergerak di sana. Itulah yang membedakan produk syariah kami dengan produk syariah institusi," ucapnya.
Guna menjaga prinsip pembiayaan syariah, Investree juga hanya fokus kepada industri yang sesuai dengan hukum Islam. Maka, industri rokok, minuman keras, obat terlarang, makanan nonhalal, perjudian, prostitusi, hotel yang belum syariah dan lainnya bukan menjadi sasaran dari produk Investree Syariah.
Untuk memperluas pasarnya, Investree juga berencana berekspansi ke Thailand pada kuartal pertama tahun ini. Kendati demikian Adrian tidak menyebut berapa jumlah dana suntikan yang didapatkan oleh Investree.
Pasar di Thailand memilki karakteristik yang serupa dengan Indonesia. Oleh karena itu, Investree akan membawa produk-produknya andalannya seperti invoice financing. Artinya, peminjam menjamin tagihan yang sedang berjalan sebagai sumber pembayaran peminjaman.
"Dengan model demografi mirip dengan Indonesia, jumlah UMKM masih banyak yang belum dilayani sektor perbankan. Potensi invoice financing produk kami yang menarik ini bisa digunakan di Thailand karena bersifat global," ujar Adrian.
Dalam strategi ekspansinya di Thailand, Adrian akan bekerja sama dengan partner lokal. Strategi kerja sama ini digunakan karena partner lokal ini memiliki pemahaman mendalam tentang karakteristik pasar di Thailand dan hubungannya dengan regulator.
“Investree bakal menjadi pemegang saham mayoritas di atas 50% dengan bermitra bersama patner lokal. Kami mempunyai porsi kepemilikan saham, jadi akan ada pembagian keuntungan berdasarkan profit sharing. Kemudian kami menargetkan pasar selanjutnya adalah Filipina pada 2020,” ungkapnya.
Sebelumnya, pada awal 2018, Investree telah beroperasi secara resmi di Vietnam dengan nama eLoan. Untuk di Vietnam, bisnis ini dijalankan seluruhnya oleh partner lokal, sedangkan Investree berperan sebagai penyedia IT.
Selain itu, Investree juga dipercaya untuk memasarkan produk pemerintah mulai dari Surat Berharga Negara (SBN) baik yang konvensional seperti Savings Bond Ritel (SBR) 003, 004, dan 005. Adapun yang berprinsip syariah seperti Sukuk Tabungan seri ST-002, serta produk Kementerian Keuangan yang terbaru yakni ST-003.
Memasuki usia keempat, Investree meluncurkan kampanye "4ever Grow" dengan menghadirkan promo Tahun Baru Imlek "Semua Bisa Cuan" yang akan berlaku bagi borrower dan lender. Promo ini berlaku hingga 31 Maret 2019.
"Untuk lender ritel atau perseorangan, minimal pendanaan yang dilakukan selama masa promosi ini, Rp20 juta dengan maksimal total pendanaan Rp2 miliar dan maksimal cashback sebesar Rp8 juta. Sedangkan lender institusional, cashback Rp8 juta bisa didapat dengan pendanaan minimal Rp1 miliar dan maksimal Rp2 miliar," ujarnya.
Sebagai informasi, Investree menyediakan pembiayaan modal kerja jangka pendek bagi UKM yang berbadan hukum yaitu pinjaman bisnis dengan produk Invoice Financing, Working Capital Term Loan, Buyer Financing, dan Online Seller Financing.
"Invoice Financing sekitar 90% dari pinjaman kami. Rata-rata pinjaman mencapai Rp500 juta. Working Capital Term Loan Rp200 juta dan Online Seller Rp40 juta," kata dia.
Tantangan bagi Investree, yaitu mengedukasi masyarakat untuk memahami bisnis model P2P lending antara lender dan borrower. "Kedua, bagaimana kami bisa balancing antara pertumbuhan dan mitigasi risiko. Itulah yang menjadi challenge bagi lembaga keuangan karena harus bisa mengelola risikonya. Jadi, bagaimana bisa tumbuh tapi tetap menjaga NPL di 0% atau 0,5%," ujarnya.