Adu nasib bisnis tekstil jelang Ramadan
Langit Jakarta masih gelap gulita. Jalanan tampak lengang dihiasi kerlipan lampu temaram kala truk-truk pengangkut menurunkan muatan kain dan beragam busana. Pemandangan itu jamak terlihat di Blok F Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Senin (22/3) sekitar pukul 04.10 WIB itu, karung-karung putih tersebut lantas disambut para kuli bertroli. Mereka hilir mudik mengerek karung-karung melintasi jalanan hingga sampai ke lapak-lapak para pedagang pasar.
Geliat ramai di kawasan Tanah Abang itu, memang kontras mencolok di dini hari yang sepi. Para pedagang sudah tampak sibuk menyiapkan barang dagangan. Ada yang sedang melepas kemas muatan, memasangkan barang dagangan ke manekin, hingga menata lapak untuk bersiap menyambut pembeli.
Salah seorang pedagang toko, Rizal (52), mengungkapkan aktivitas 'datang barang' tersebut memang rutin terjadi setiap Senin dan Kamis pada dini hari. Produknya mayoritas jilbab aneka model sampai mukena.
Pemilik toko Iin Chani Collection itu bercerita pandemi Covid-19 jadi pukulan bagi dirinya. Saat awal pandemi hingga sekitar bulan Agustus 2020, ia bahkan sempat harus menutup lapak. Ini tak lepas dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kala itu.
"Kacau situasinya, karena waktu itu sempat enggak boleh jualan," ujar Rizal ditemui Alinea.id, di Ruko Blok F Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (22/3).
Hingga saat ini, Rizal menyebut, kondisi jual beli di lapaknya belum sepenuhnya pulih. Ia menganggap masa sekitar delapan bulan sejak pandemi sebagai masa-masa tersulit. Meskipun kini, kondisi sudah mulai berangsur-angsur membaik.
Mayoritas pembeli Rizal hampir merata di seluruh daerah di Indonesia. Pedagang yang sudah nyaris satu dekade di Tanah Abang ini, sudah memiliki langganan dari Sulawesi, Sumatera, Kalimantan dan lainnya.
"Paling yang sudah langganan ada yang mau dikirim foto terus nanti dikirim. Tapi karena grosir jadi enggak dijual online gitu," katanya.
Masih di masa pandemi, dia paling tidak bisa menjual 1 hingga 3 karung berisi 15-20 kodi dagangan jelang Ramadan tahun ini. Jumlah itu sudah menurun sekitar setengahnya di momen serupa sebelum pandemi.
"Kan peminatnya masih sepi. Di masa begini, kita juga belum bisa memprediksi akan bagaimana, jualan aja yang penting," imbuhnya.
Tak hanya mempengaruhi penjualan, lelaki asal Sumatera Barat ini mengatakan kondisi pandemi ini juga menyebabkan makin sedikitnya animo para pedagang luar daerah Jakarta untuk berdatangan. Padahal, sebelum pandemi, tiap jelang Ramadan notabene banyak 'pedagang dadakan'.
"Sekarang mereka mikir mau datang ke sini, karena harus swab juga, repot di jalannya," kata dia.
Tak hanya lapak toko, pedagang-pedagang kawasan pasar itu juga ada yang langsung membawa mobil-mobil untuk menjajakan produk grosiran atau eceran. Ari (35) misalnya.
Lelaki Sunda itu, sengaja datang ke Pasar Tanah Abang untuk menjajakan produk jilbab yang diperoleh dari berbagai daerah di Jawa Barat. Mulai dari Rancaekek hingga Tasikmalaya.
Seperti halnya Rizal, Ari pun juga merasakan hal sama: jualannya lesu. Namun apa dikata, baginya, berjualan seberapa jumlahnya pembeli mesti dijalani dengan telaten di masa sulit ini. Setiap kali datang, dia bisa menjual sekitar belasan kodi produk dagangan.
"Kalau dibandingkan pas mau Ramadan sebelum pandemi, turunlah pasti. Ada 30% sama normal. Tapi ya gimana," ujar Ari.
Di kesempatan berbeda, salah seorang pedagang busana di kawasan blok A Pasar Tanah Abang, Surya (27) mengaku mengalami kemerosotan penjualan yang cukup drastis. Sebelum pandemi, dia bisa menjual 60 lusin dalam sebulan jelang Ramadan. Adapun kini, barang dagangannya bahkan laku tak sampai 10 lusin.
"Sekarang sepi, cuma 6-7 lusin ini. Yang penting ada, dalam sehari itu ada yang cuma terjual sepotong saja," ujar Surya saat dihubungi Alinea.id, Kamis (25/3).
Surya mengaku aneka dagangan busananya banyak yang berasal dari produk impor. Perbandingannya sekitar 80% impor dari China, sedangkan 20% lainnya asli lokal yakni Tangerang.
Surya tak menyangkal, bahwa produk impor di lapaknya memang lebih banyak diminati oleh pembeli. Selain harganya yang murah dan barangnya relatif bagus, faktor aksesnya juga jadi pengaruh.
"Kalau ngambil barang yang impor tuh ibaratnya tinggal ke Metro sampai, kalau lokal kan harus pesan manual gitu, agak repot," katanya.
Untuk menambah penghasilan, lelaki asal Sumatera ini pun, mulai merambah ke penjualan online. Meskipun, porsinya masih terbilang kecil karena baru memulai.
"Tipis-tipis lah, lumayan," imbuhnya.
Menilik retail modern
Sama halnya dengan kondisi pasar tradisional, retail modern dalam bisnis fesyen juga sempat terdampak pandemi. Terlebih dengan adanya penutupan pusat perbelanjaan/mal hingga pembatasan jam operasional menjadi pukul 19.00.
Ketua Umum Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia (Hippindo) Budiardjo Iduansjah mengungkapkan kondisi tersebut sebetulnya perlahan sudah mulai pulih, dengan adanya kelonggaran jam operasional menjadi pukul 21.00. Namun demikian, semua lapak belum benar-benar beroperasi normal.
"Okupansinya sekarang di atas 50% lah, normalnya bisa sampai 85%. Daerah luar pulau Jawa yang justru banyak, kan angka kasusnya juga yang enggak tinggi," ujar Budi kepada Alinea.id, Kamis (25/3).
Budi melanjutkan, penjualan dalam bidang fashion utamanya memang relatif bergerak semakin naik. Terlebih, dengan adanya momen besar seperti pada Imlek dan saat ini menjelang Ramadan. Menurutnya, tetap ada lonjakan dibandingkan selama masa pembatasan pandemi biasa.
"Maret sampai Juni nanti harusnya lebih bagus," imbuhnya.
Jika para pedagang pasar mendapatkan prioritas yang lebih dulu divaksin, Budi menyebut, pihaknya sudah banyak yang memproses pengajuan vaksin bagi pekerja retail modern. Sebagian daerah pusat perbelanjaan juga sudah ada yang mendapatkan vaksin.
"Harapan kami nanti bisa serentak," katanya.
Kendati demikian, Budi mengaku optimistis dengan adanya gairah berbelanja pada pusat perbelanjaan. Selain jam operasional yang lebih panjang, ketatnya protokol kesehatan juga menjadi jaminan untuk para pembeli produk fashion menjelang Ramadan.
"Kami protokol kesehatan lumayan rapi, lapis pertama pas mau masuk, lapis kedua pas di tokonya. Jadi enggak pakai masker dan suhu badannya tinggi enggak boleh masuk. Cashless juga," ujar Budi.
Kembang kempis bisnis tekstil
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan menjelang Ramadan di situasi pandemi ini, industri tekstil seolah tengah kembang kempis. Bagaimana tidak, menyusutnya pembeli saat pandemi diperparah dengan ongkos produksi tekstil yang juga makin mahal. Belum lagi dengan kenaikan harga minyak dunia.
"Bahan baku naik, ke hilirnya juga pasti mestinya naik. Tapi, harga kenaikan belum diserap akibat demand juga masih sepi. Makin lengkap," ujar Rizal kepada Alinea.id, Kamis (25/3).
Sementara, hingga saat ini utilitas produksi industri tekstil menurutnya ada di kisaran 60%. Sedangkan, normalnya setidaknya di level 70% atau lebih.
Selama masa pandemi, menurutnya, industri tekstil memang sempat memutar otak agar tak terus merosot hingga berhenti produksi. Makanya, industri pun banting setir memproduksi Alat Pelindung Diri (APD). Namun nyatanya hal tersebut juga masih belum cukup.
"Masker dan APD masih tetap jalan, tapi itu rutinitas saja. Walaupun jumlah kebutuhannya besar, kan pelaku usahanya juga banyak. Bagi industri kecil mungkin pengaruh, tapi industri kain dan benang ya tidak begitu," katanya.
Tak hanya soal produksi, aneka bahan baku industri tekstil, Rizal tak memungkiri, juga masih banyak yang bergantung dari impor. Seperti, dari China dan Taiwan.
Berdasarkan data API, komposisi impor tekstil dan produk tekstil (TPT) berupa bahan serat mencapai 13,5%, benang sebesar 3,3%, kain sebesar 45,6%, pakaian jadi sebesar 10,6% serta tekstil lainnya sebesar 26,9%. Sedangkan, komposisi industri tekstil untuk ekspor berupa serat (8,6%), benang (11,3%), kain (6,6%), pakaian jadi (67%), dan tekstil lainnya (6,5%).
"Untuk garmen, barang impor masih masuk. Terutama China New Year (imlek) lepas banyak barang, kira-kira baru sampai Indonesia bulan ini. Itu semakin menggerus. Berlapis-lapis masalahnya," jelasnya.
Maka dari itu, Rizal menekankan bahwa industri tekstil Tanah Air saat ini begitu membutuhkan proteksi berupa safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT). Sebab tak hanya melindungi industri lokal dari persaingan, safeguards juga berguna untuk mencegah langkanya pasokan bahan baku.
Safeguards bahan baku sesuai aturan Pemerintah yang dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.161/PMK 010/2019, PMK No.162/PMK.010/2019 dan PMK No.163/ PMK.010/2019 terkait Pemberlakuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara (BMTPS) atau Safeguards terhadap impor tekstil dan produk tekstil (TPT) pada November 2019.
"Proteksi safeguards garmen baru di pembahasan kepentingan nasional. Sudah hampir selesai tapi masih belum jelas (penerapannya)," pungkasnya.
Tahun | Nilai impor | Volume impor |
2014 | US$7,37 miliar | 1,81 juta ton |
2015 | US$6,83 miliar | 1,73 juta ton |
2016 | US$7,01 miliar | 1,9 juta ton |
2017 | US$7,24 miliar | 2 juta ton |
2018 | US$8,57 miliar | 2,24 juta ton |
2019 | US$7,91 miliar | 2,04 juta ton |
Menanggapi soal ini, Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengaku pihaknya masih memproses pengaplikasian safeguards untuk industri tekstil dan garmen. Seraya menunggu proses itu berjalan, Kemenperin pun fokus membangun Material Center.
"Kami fokus membangun Material Center untuk penyediaan bahan baku," ungkapnya.
Pembentukan Material Center untuk industri kecil dan menengah (IKM) sektor logam dan komponen alat angkut itu diresmikan pada Agustus tahun 2019. Lokasinya terletak di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Inisiatif kerja sama ini sebagai upaya strategis memenuhi kebutuhan bahan baku yang berkelanjutan dan berkualitas untuk sektor IKM tersebut.