Agar BPR tak tutup karena fraud
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyuntik mati tiga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sejak awal 2024. Ketiganya yakni PT BPR Syariah Mojo Artho Kota Mojokerto, BPR Wijaya Kusuma, dan terbaru BPR Usaha Madani Karya Mulia.
Fenomena matinya BPR tampaknya belum akan berakhir. Tahun ini diperkirakan akan ada tujuh hingga delapan BPR yang ditutup. Alasannya, BPR sudah sakit dan tidak bisa disehatkan kembali melalui proses penyertaan modal sementara, pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank kepada bank perantara, hingga solusi terakhir ialah likuidasi.
“Bukan karena ekonominya (Indonesia) memburuk atau bukan dampak ekonomi ke BPR, tapi utamanya karena fraud di BPR tersebut,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Lana Soelistianingsih, kepada Alinea.id, Jumat (9/2).
Dari banyaknya penyebab fraud pada BPR, salah satu masalah yang banyak membuat bank gagal adalah adanya oknum pegawai BPR yang tidak menyetorkan atau mencatat simpanan dari nasabah. Kasus ini biasa terjadi di BPR-BPR yang terletak di desa atau daerah kecil.
Masalah ini pun sering kali baru tercium ketika LPS hendak melakukan penyehatan atau pemulihan kepada BPR tersebut.
“Banyak nasabah BPR menitipkan tabungannya ke teman yang menjadi pegawai di BPR tersebut. Ketika dititipkan, yang menjadi persoalan adalah sering kali tidak dicatat,” beber Lana.
Terpisah, Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengungkapkan, faktor utama yang membuat OJK terpaksa menyuntik mati adalah karena BPR tersebut terus merugi. Jika kondisi ini terus berlanjut, BPR akan mengalami kesulitan likuditas hingga tidak bisa mengembalikan simpanan alias dana pihak ketiga (DPK) yang dititipkan oleh nasabah.
Pada akhirnya, kondisi ini bakal mengerek rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) BPR tersebut dan menimbulkan kegagalan sistematis. “Itu faktor-faktor yang membuat mereka terpaksa tutup operasionalnya, karena terus merugi. Tidak bisa diselamatkan LPS, jadi terpaksa ditutup,” jelasnya, kepada Alinea.id, Sabtu (10/2).
Agar tak tutup
Sebagai informasi, berdasar catatan LPS, ada 28 BPR yang terpaksa ditutup oleh OJK dalam lima tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, 23 di antaranya sudah selesai melakukan proses likuidasi. Sejak Januari hingga Oktober 2023, LPS telah membayarkan klaim penjaminan dana nasabah dari penutupan empat BPR sebesar Rp260 miliar.
Agar tidak semakin banyak BPR yang tutup karena fraud, Amin bilang, perlu dilakukan strategi kebijakan yang digunakan oleh bank umum, yakni menggabungkan usaha BPR dengan modal dan aset cekak di satu wilayah. Selain itu, BPR besar juga bisa mengakuisisi BPR dengan skala yang lebih kecil untuk mempertebal modal keduanya.
“Atau mungkin fintech (financial technology) mengakuisisi BPR dan seterusnya,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, upaya mencegah penutupan BPR karena fraud juga bisa dilakukan melalui pengetatan aturan, misalnya dengan memperbesar jumlah modal disetor kepada OJK, hingga memeperketat rasio-rasio keuangan BPR dengan aturan tertentu. Amin bilang, upaya ini juga bisa digunakan untuk membuat BPR lebih efisien.
Pasalnya, ketika aturan diperketat, akan terjadi seleksi alam yang membuat BPR-BPR dengan modal dan aset mini tutup dengan sendirinya. Namun sebaliknya, BPR yang ingin tetap bertahan di industri perbankan, akan mencari cara untuk meningkatkan tata kelola perusahaan dan mempertebal modal mereka, sehingga menjadi BPR yang lebih siap untuk menanggung risiko kebangkrutan karena rugi.
“Mau enggak mau mereka akan memperbaiki diri dalam banyak hal, entah itu dalam tata kelola, SDM (sumber daya manusia), infrastruktur, jaringan, untuk kemudian bisa mengembangkan digitalisasi karena itu perlu modal dan nantinya akan ada komitmen dari PSP (payment service provider/penyedia layanan pembayaran) guna memperbaiki keuangan BPR,” jelas Amin.
Sementara itu, menurut Pengamat Perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto, tidak masalah kalau BPR tutup karena kekurangan modal atau sepi nasabah. Pasalnya, sama dengan jenis usaha lainnya, BPR juga bisa memiliki masalah terkait permodalan.
Hanya saja, yang perlu dijaga adalah agar BPR tidak tutup karena fraud. Sebab akan berimbas terhadap dana nasabah yang dibawa kabur oleh oknum pegawai yang tidak bertanggung jawab. “Ini masalah fatal, kalau tutupnya karena fraud,” kata dia, kepada Alinea.id, Sabtu (10/2).
Karenanya, untuk menghindari terjadinya fraud pada BPR, OJK perlu memperketat pengawasannya terhadap usaha bank perkreditan itu. Doddy bilang, OJK perlu meningkatkan transparansi pengawasan terhadap BPR.
“Contohnya, kalau ada masalah di salah satu BPR di suatu daerah, langsung dibuat pengumumannya. Masalahnya apa? Cara penyelesaiannya bagaimana dan sudah sampai mana? Hal ini dilakukan agar nasabahnya di daerah tersebut tahu dan enggak tertipu, naruh uang lagi di sana,” jelasnya.
Sementara itu untuk memperkuat industri ini, beberapa waktu lalu OJK telah merilis dua beleid baru terkait BPR. Kedua aturan itu adalah Peraturan OJK (POJK) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS (BPR Syariah) serta POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset BPR.
Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa bilang, POJK 28/2023 dirilis untuk menyesuaikan tugas pengawasan OJK dan penempatan dana LPS terhadap BPR dan BPRS. Sedangkan POJK 1/2024 dimaksudkan untuk membangun industri BPR yang lebih sehat dan memiliki daya saing tinggi dengan selalu memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko kegiatan usahanya dalam mengelola aset.
“POJK 1/2024 juga diterbitkan sebagai penyesuaian dari Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), sebagai standar akutansi keuangan entitas privat sebagai ganti standar sebelumnya dan juga hasil dari evaluasi terhadap masalah BPR saat Covid-19,” kata Aman, dalam keterangannya, kepada Alinea.id, Jumat (9/2).