Langkah pemerintah memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM), lewat pembatasan jenis solar dan Pertalite harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Kebijakan ini dapat memukul daya beli dan mempersulit pengentasan kemiskinan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan pemerintah harus mereformulasi subsidi BBM. Kebijakan ini dinilai penting untuk mengatasi masalah distribusi subsidi yang tidak tepat sasaran.
Namun di sisi lain juga berisiko memperburuk daya beli masyarakat, terutama di kalangan rentan miskin.
“Subsidi BBM memang perlu direformulasikan karena banyak mobil mewah masih menikmati BBM bersubsidi. Namun, masyarakat miskin seharusnya tetap mendapatkan subsidi ini,” ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (30/11).
Menurutnya, ada beberapa skema pembatasan BBM jenis Pertalite yang dapat diterapkan untuk mengurangi beban fiskal. Dari kajian, pembatasan dapat dilakukan dengan proporsi semua kendaraan berpelat hitam sebesar 34,24%, mobil pribadi yakni 32,14%, kuota maksimal 60 liter per kendaraan sebesar 17,71%, serta hanya kendaraan di atas 1.400 cc sebesar 14,81%.
Skema pembatasan tersebut diproyeksikan mampu menghemat anggaran subsidi secara signifikan. Namun, Esther memperingatkan langkah ini juga memiliki dampak negatif.
“Pembatasan Pertalite memang akan menghemat anggaran fiskal, tetapi pada saat yang sama bisa menurunkan daya beli masyarakat dan menyebabkan kontraksi ekonomi yang lebih dalam,” tambahnya.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan menyebut pencabutan subsidi BBM akan kontraproduktif, terutama jika menyasar kelompok menengah dan rentan miskin.
“Kalau subsidi untuk kelompok ini dicabut, termasuk untuk ojek online (ojol), yang sebagian besar berasal dari kelas menengah bawah, dapat mempersulit pengentasan kemiskinan,” ujar Jaya kepada Alinea.id, Sabtu (30/11).
Kelompok menengah bawah merupakan salah satu pengguna terbesar BBM bersubsidi. Pembatasan subsidi yang tidak terarah bakal memukul daya beli kelas ini yang sangat bergantung pada harga energi terjangkau untuk aktivitas ekonomi sehari-hari.
Dia mengatakan pemerintah bisa melakukan pembatasan subsidi untuk sektor industri. Banyak industri besar yang seharusnya tidak mendapatkan subsidi malah menjadi penerima terbesar.
"Pemerintah harus lebih fokus pada pembatasan ini dan meningkatkan pengawasan distribusi BBM bersubsidi, terutama di daerah yang masih rawan korupsi,” kata Jaya.
Yang harus dilakukan pemerintah
Esther mengatakan pemerintah perlu mengalokasikan kembali subsidi BBM kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan, seperti masyarakat miskin, petani, dan nelayan. Pendekatan ini dinilai lebih adil dan dapat memperbaiki efisiensi anggaran tanpa menimbulkan tekanan besar pada perekonomian masyarakat bawah.
Pencabutan subsidi BBM dan pembatasan distribusi Pertalite berisiko memperburuk daya beli yang telah melemah akibat tekanan inflasi dan kenaikan harga pangan. Data menunjukkan, inflasi pada sektor energi mencapai 10,2% secara tahunan alias year on year (yoy) pada Oktober 2024, sementara harga bahan pokok seperti beras meningkat sebesar 22,08% dalam setahun terakhir.
Langkah pencabutan subsidi yang tidak hati-hati dapat memperburuk kontraksi ekonomi, terutama pada sektor konsumsi rumah tangga, yang menyumbang 53,65% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Untuk memitigasi dampak negatif dari pembatasan BBM bersubsidi, ada sejumlah langkah-langkah yang bisa dilakukan pemerintah. Yakni melakukan targeting subsidi berbasis data dengan menggunakan teknologi digital untuk memastikan subsidi hanya diberikan kepada kelompok miskin dan rentan.
Lalu, pengawasan distribusi BBM dengan memperkuat mekanisme pengawasan di daerah rawan korupsi.
Kemudian, pembatasan subsidi industri besar dengan mengurangi subsidi untuk sektor yang tidak memerlukan dukungan, serta kompensasi langsung dengan menyalurkan bantuan tunai langsung kepada kelompok yang terdampak, seperti ojek online dan petani.
Esther bilang, meski reformasi subsidi BBM menjadi langkah penting untuk efisiensi fiskal, kebijakan ini harus dilakukan secara terukur agar tidak memperburuk kondisi ekonomi masyarakat, terutama di tengah inflasi yang tinggi dan daya beli yang melemah. Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini berjalan seiring dengan perlindungan terhadap kelompok rentan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial.