Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok resmi dilantik sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa atau RUPSLB pada hari ini Senin (25/11). Pelantikan berlangsung di Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Hari ini saya diminta datang untuk menerima Surat Keputusan atau SK," ujar Ahok di Kementerian BUMN, Senin (25/11).
Staf Khusus Kementerian BUMN Arya Sinulingga mengatakan RUPSLB tersebut untuk mengangkat dewan komisaris dan dewan direksi Pertamina.
Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan Ahok diputuskan menjadi Komut Pertamina setelah melalui Tim Penilaian Akhir (TPA). Tim ini dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Pramono mengatakan Ahok dipilih untuk membenahi masalah neraca berjalan yang selalu defisit karena salah satu penyebabnya adalah kinerja BUMN seperti Pertamina dan PT PLN (Persero) yang tidak efisien. Pramono menyebut langkah perbaikan untuk permasalahan tersebut yakni kemandirian migas dan energi terbarukan. Salah satu program yang diusung pemerintah yakni biodiesel 30% (B30).
“Kalau di internalnya Pertamina tidak dilakukan pembenahan, impor minyaknya sangat besar. Inilah yang menyebabkan tekanan terhadap neraca transaksi berjalan kita. Sehingga dengan demikian penugasan Pak Ahok paling utama di Pertamina adalah hal-hal berkaitan dengan itu, untuk memberikan pengawasan jangan sampai Pertamina tidak mau berubah," jelas Pramono.
Perbaikan hulu dan hilir
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan tantangan utama dalam pengelolaan migas yakni pada sektor hulu Pertamina, mengingat sejumlah blok migas besar akan dikelola oleh Pertamina.
Blok migas tersebut di antaranya Blok Rokan yang nantinya akan dikelola Pertamina, kemudian Blok Mahakam yang sudah dioperasikan oleh Pertamina dan blok terminasi lainnya.
Dengan sebagai pemain utama, Pertamina harus mampu mengelola peningkatan produksi dari blok migas tersebut. Meski peran komisaris utama yang diemban Ahok nantinya tidak seteknis direktur utama, namun kolaborasi dengan Budi G Sadikin sebagai Wakil Komisaris diharapkan mampu memberikan sumbangsih besar.
"Duet ini sangat dinantikan apalagi wakil komsaris memiliki pengalaman memimpin korporasi dan Ahok berpengalaman di bidang pemerintahan daerah," kata Komaidi.
Selain itu, sektor hilir tidak kalah penting, mengingat sektor ini masih banyak dikendalikan oleh pemerintah, misalnya aturan harga jual.
"Pak Ahok harus bisa memantau sektor ini serta menjembatani dengan pemerintah, agar keseimbangan bisnis Pertamina tetap stabil," kata Komaidi.
Sementara itu, kata Komaidi, untuk menekan defisit neraca perdagangan sektor minyak dan gas bumi (migas), Ahok yang ditunjuk sebagai Komisaris Utama Pertamina harus jeli mengawasi investasi sektor hulu migas.
"Yang jelas tidak bisa instan dalam memperbaiki defisit neraca perdagangan migas, ini perlu waktu dan strategi," kata dia.
Komaidi menjelaskan defisit neraca perdagangan migas sudah lama terjadi sejak tahun 2000-an, dimulai saat Indonesia keluar dari OPEC. Sedangkan faktor terbesar untuk membenahi defisit migas, Indonesia harus memiliki investasi sisi hulu yang besar guna mendongkrak produksi migas.
Namun, mendatangkan investasi besar di hulu migas dinilai tidak bisa dalam jangka waktu yang pendek. Apalagi posisi yang diemban adalah Komisaris Utama yang tidak langsung bersentuhan dengan hal teknis Pertamina. Menurutnya, dengan duduknya Ahok menjadi Komut tidak bisa serta merta langsung membuat neraca perdagangan migas bebas impor.
"Saya kira tidak semudah itu, karena ini banyak persoalan teknis, bukan hanya korporasi," katanya.
Lebih lanjut, Komaidi menjelaskan untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan migas, langkah pertama sebaiknya mengawasi serta memastikan jalannya program B20 hingga B30 dengan benar.
Menurut dia, langkah itu cukup baik di mana bisa menekan impor. Namun, perlu diwaspadai ketersediaan campuran biodiesel atau FAME, karena jika harga sawit berjalan lebih baik, dikhawatirkan pengusaha sawit akan lebih memilih ekspor. Sehingga ketersediaan sawit sebagai bahan baku biodiesel bisa menurun.
"Kemungkinan lebih baik membuat perencanaan jangka pendek dan menengah dulu, itu akan lebih baik untuk memberikan nilai positif bagi Pertamina," katanya.
Komaidi menyarankan agar Ahok berperan untuk menentukan langkah jangka pendek dari korporasi. Mengingat ia memiliki partner Wakil Komisaris Budi Sadikin yang berasal dari korporasi pertambangan. Dengan kolaborasi itu, pengalaman dan strategi jangka pendek lebih dibutuhkan Pertamina saat ini. (Ant)