AI influencer: Naiknya toleransi peradaban dan tren dalam dunia pemasaran
Dunia maya dan pemasaran mengalami banyak perubahan seiring lahirnya virtual influencer alias AI influencer. Para pemengaruh yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence ini memiliki daya tarik yang tak kalah ketimbang manusia biasa.
Konsep virtual AI dibuat serealistis mungkin. Di Korea Selatan, agensi hiburan berlomba-lomba merilis idol dengan teknologi AI yang sangat mirip dengan manusia asli. Salah satu yang sukses adalah solois dan influencer Apoki yang tenar dengan avatar mungil berambut pink. Meski tak pernah menunjukkan wajah aslinya ke publik, Apoki berhasil merilis digital single dan sering mengaver lagu dari musisi lainnya.
Sebuah agen model di Spanyol juga menciptakan AI influencer yang diberi nama Aitana López, seorang wanita berambut merah muda berusia 25 tahun. Akunnya telah mengumpulkan lebih dari 300.000 pengikut di Instagram.
Pihak agensi membuat gambar menggunakan Photoshop. Penciptaannya didasarkan pada 'kepribadian", " apa yang paling disukai masyarakat" dan "scorpio yang penuh gairah". Model AI itu mampu meraup penghasilan hingga US$11.000 atau Rp171 juta per bulan. Belakangan, banyak model AI yang juga tenar dengan pendapatan fantastis.
Yang terbaru, berlangsungnya ajang pemilihan ratu dunia dengan tajuk 'The FanVue World AI Creator Awards' (WAICA’s) di Fanvue. Fanvue adalah platform penampung kreasi AI asal Inggris, yang hanya bisa diakses jika berlangganan.
Pemenang ajang ini adalah Kenza Layli, yang kemudian disemati ‘Miss World’. Karakter AI perempuan berjilbab asal Maroko ini, sekaligus jadi Miss AI pertama di dunia.
Efektivitas AI influencer
Pendiri LITEROS sekaligus pemerhati budaya dan komunikasi digital, Firman Kurniawan menilai bidang pemasaran telah lama memanfaatkan AI influencer untuk keperluan komunikasinya.
Menurutnya, semua itu bertujuan membangun pemahaman terhadap produk. Juga menguatkan citra produk, lewat relasinya dengan konsumen. Demikian pula aneka kampanye gerakan sosial. Contohnya pemberantasan malaria di Afrika.
“Gerakan ini juga memanfaatkan pesohor yang dikembangkan dari karakter AI, David Beckam. Pesohor sepak bola ini ditampilkan untuk menyampaikan bahaya serangan nyamuk malaria, menggunakan 9 bahasa dunia berbeda,” ungkapnya kepada Alinea.id, Rabu (31/7).
Menurutnya, kecenderungan macam itu makin kuat di waktu mendatang. Aneka aktivitas komunikasi untuk gerakan sosial, persuasi perubahan perilaku, maupun penyebaran nilai moral dengan memanfaatkan karakter berbasis AI, makin marak.
Menggunakan AI influncer terbukti lebih menguntungkan dari sisi keluwesannya, biayanya yang lebih murah, dan pengelolaannya yang lebih sederhana ketimbang pemengaruh manusia yang sering lebih kompleks. Namun keberadaan agen-agen perubahan yang diperankan karakter berbasis AI, terjadi akibat toleransi peradaban terhadap agen-agen nonmanusia.
Dia menyebut, khalayak memahami karakter yang dikembangkan dapat mengacu pada pesohor yang sudah dikenal. Atau dapat berasal dari karakter rekaan yang dulunya tak ada. Lewat pengembangannya, justru bertujuan membangun eksistensi di hadapan khalayak luas.
"Lil Miquela, atau lebih dikenal sebagai Miquela Sousa (brand ambassador Prada) merupakan karakter AI dalam kategori yang dulunya tak ada," sebutnya.
Dia mengatakan, entitas bisnis besar di dunia banyak memanfaatkannya, termasuk Prada, Chanel, Red Bull, Calvin Klein, dan Tinder. Brand tersebut mengembangkan program pemasaran online, dengan karakter berbasis AI.
Pendekatan yang dilakukan berbagai entitas bisnis itu merupakan praktik pemasaran baru. Manakala penggunaannya makin intensif, kata 'mempengaruhi' akan punya pengertian baru di bidang pemasaran, hiburan, juga hal-hal yang lebih luas lainnya.
“Tak jarang karakter rekaan ini diinteraksikan dengan pesohor yang memang ada, sehingga tak jelas lagi: mana yang maya dan mana yang nyata,” ujarnya.
Menyitir beberapa ahli, Firman menyebut, AI Influencer memiliki kelebihan lain, yakni dalam hal konsistensi dan ketersediaannya. Seluruhnya bersifat fleksibel dan mudah disesuaikan dengan kebutuhan. Apalagi berdasarkan 'The Influencer Marketing Hub's 2023 Benchmark Report', dia bilang, sekitar 60% pemasar telah menggunakan atau berencana menggunakan AI influencer dalam aktivitas komunikasinya.
Hadirnya Miss AI untuk pertama kalinya pada ajang dunia juga pemanfaatan AI influencer pada berbagai aktivitas komunikasi, merupakan kecenderungan yang telah berkembang sebelumnya. Ini termasuk pemanfaatan chatbot untuk menggantikan customer service konvensional, juga penggunaan berbagai penerapan teknologi yang menggantikan peran manusia. Seluruhnya merupakan indikator naiknya toleransi peradaban, pada introduksi posthuman, pascakemanusiaan, di tengah kehidupan.
“Ketika itu dikembangkan dengan strategi tepat, dapat menghasilkan penghematan biaya dalam berinteraksi dengan konsumen,” ucapnya.
Managing Partner Inventure, Yuswohady mengakui dunia marketing sudah kerap menggunakan konsep AI dengan gambar bergerak sebagai konten. Yang kemudian, disebarluaskan ke berbagai platform media sosial untuk menarik masyarakat.
Dengan cara ini, konten yang dibuat pun menjadi material yang tidak terbatas dalam berbagai hal.
“Dengan AI generatif kita bisa buat konten tanpa batas dan mendapatkan engagement masyarakat,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (1/8).
Sekarang, kata Yuswo, konsep ini masih sangat efektif untuk dilakukan dalam menarik minat masyarakat. Namun, saat semua orang bisa melakukan konsep ini, maka akan menjadi komoditas dalam dunia marketing. Maka dari itu, yang membedakan hanya konten apa saja yang dapat menarik perhatian masyarakat.
“Ketika ini sudah menjadi komoditas, maka kata kuncinya adalah kreativitas,” ujarnya.