close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi air minum. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi air minum. Foto Freepik.
Bisnis - Lingkungan
Selasa, 10 September 2024 17:42

Air galon bikin jatuh miskin, apa yang harus dilakukan?

Sulitnya mendapatkan air berkualitas baik yang layak konsumsi di Indonesia menyebabkan masyarakat terpaksa membeli air minum dalam kemasan.
swipe

Sulitnya mendapatkan air berkualitas baik yang layak konsumsi di Indonesia menyebabkan masyarakat terpaksa membeli air minum dalam kemasan. Kebiasan itu membuat jutaan kelas menengah jatuh miskin karena harus menguras pendapatan di tengah sulitnya kondisi ekonomi. 

Tak harus air minum dalam kemasan, masyarakat juga bisa mengonsumsi air dari sumber lain. Namun perlu dipastikan kualitasnya terlebih dahulu.

Dokter Ahli Gizi Komunitas Tan Shot Yen mengatakan masyarakat bisa melakukan uji total dissolved sollids (TDS) untuk mengukur kualitas air. Ini adalah cara untuk memastikan air yang dikonsumsi bersih dan bebas dari berbagai zat berbahaya.

Ia mengutip ulasan di Halodoc, TDS adalah senyawa anorganik dan organik yang ditemukan dalam air. Namun, tidak termasuk bahan organik yang secara alami terdapat di air dan memberikan manfaat bagi kehidupan. 

Air dinyatakan tidak layak dikonsumsi jika memiliki level TDS di atas 300 bagian per juta atau part per million (ppm). Adapun sangat baik dikonsumsi jika nilainya 50 ppm hingga 150 ppm dan berlanjut dalam kategori baik serta cukup baik hingga nilai 300.

Secara alami, air mineral tidak memiliki bau atau rasa. Perubahan pada kadar air dapat mengubah tekstur dan rasa, sehingga air tidak layak dikonsumsi. 

Untuk itu, mengukur kualitas air perlu dilakukan ketika terdapat rasa yang asin ataupun pahit. Masakan yang dimasak dengan air yang menunjukkan level TDS di atas 1.000 ppm akan mengalami perubahan rasa. 

Menurut Tan, tidak ada alternatif lain untuk menilai kualitas air selain melakukan uji TDS.

“Tidak (ada alternatif), sekali lagi TDS penting untuk mencegah masalah kesehatan,” katanya kepada Alinea.id, Minggu (8/9).

Selain kualitas air, dia bilang, masyarakat perlu memperhatikan kualitas kemasan air. Menurutnya, kemasan harus dalam keadaan steril. Jika menggunakan galon atau kemasan plastik, perlu dipastikan bebas Bisphenol A atau kerap dikenal dengan singkatan BPA. BPA adalah salah satu zat kimia yang terkandung dalam plastik dan perlu diwaspadai.

Penggunaan segala produk yang mengandung BPA telah dilarang di beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Australia, Denmark, Swedia, sampai Malaysia.

Pemenuhan hak atas air

Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan adanya kenaikan angka masyarakat rentan miskin menjadi 67,69 juta orang pada tahun 2024. Sementara, tahun 2019 angkanya hanya berkisar 54,97 juta orang. Begitu pula dengan kelompok masyarakat kelas menengah rentan yang bertambah dari 128,85 juta orang menjadi 137,50 juta. 

Ekonom Bambang Brodjonegoro mengatakan ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya kondisi tersebut. Yakni, lantaran mengonsumsi air minum dalam kemasan yang dilakukan sehari-hari. Selain itu juga karena pandemi Covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Bambang, kebiasaan mengonsumsi air minum dalam kemasan tidak terjadi di semua negara. Di negara maju, warga kelas menengah terbiasa mengonsumsi air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum.

Staf Riset Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRUHA), Sigit Karyadi Budiono mengatakan pemerintah harus segera merealisasikan pemenuhan hak atas air dengan memperbaiki kembali infrastruktur yang sudah tua. Pipa-pipa berkarat mesti direvitalisasi dan memperpanjang jalurnya hingga menyentuh semua lini masyarakat.

“Yang perlu digarisbawahi, solusinya subsidi ke PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), mendorong perluasan akses ke air minum karena infrastruktur sudah tua, jadi untuk perbaikan dan memperluas sambungan instalasi ke jaringan yang selama ini tidak punya akses. Seharusnya kebijakannya seperti itu, bukan subsidi bisnis perusahaan air minum dalam kemasan, itu repot,” ujarnya, kepada Alinea.id, Jumat (7/9).

Menurutnya, masalah pemenuhan hak atas air memang sudah merepotkan masyarakat sejak dulu. Beberapa daerah di Jakarta masih ada yang tidak mendapatkan akses air bersih. Tidak heran bila mereka harus mengeluarkan kocek lebih besar untuk mandi, cuci, dan kakus alias MCK. 

"Apalagi kebutuhan untuk air minum, lebih susah lagi," kata Sigit.

Padahal, menurut Sigit, pemerintah telah memiliki peraturan terkait pemenuhan hak atas air. Salah satunya, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perhitungan dan Penetapan Tarif Air Minum. Beleid itu memuat penetapan tarif untuk standar kebutuhan pokok air minum disesuaikan dengan kemampuan membayar pelanggan yang berpenghasilan sama dengan upah minimum provinsi, serta tidak melampaui 4% dari pendapatan masyarakat pelanggan.

Dia menghitung, setidaknya 30% hingga 50% masyarakat tidak mendapatkan hak atas air.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan