Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebagai dirigen kebijakan bidang ekonomi dinilai gagal dalam mengonsolidasikan kebijakan pangan dan hilirisasi sawit. Ini tecermin dari berlarut-larutnya krisis minyak goreng dan terus berulangnya harga kedelai yang melonjak.
"Iya, harusnya Kemenko Perekonomian bisa mengoordinasikan dan mengondisikan kementerian terkait agar tidak ada kelangkaan minyak goreng dan kedelai," ucap Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti, saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Rabu (23/2) malam.
Padahal, ungkapnya, Kemenko Perekonomian dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), memiliki kajian terkait minyak goreng dan kedelai. "Masalahnya sudah nyata dan teridentifikasi, tapi pemerintah tidak mau saja menyelesaikan."
Menurut Esther, Menko Airlangga mestinya mengambil langkah strategis dan terukur dalam mengatasi masalah ini. Sehingga, tidak membuat "masyarakat lapar".
"Kalau ini dibiarkan terus-menerus akan bahaya. Rakyat lapar, maka kemungkinan chaos bisa terjadi. Historically, Presiden Soekarno dan Soeharto lengser karena krisis," tegasnya mengingatkan.
Dia menerangkan, kelangkaan minyak goreng sejak Oktober 2021 dan mahalnya harga kedelai belakangan ini karena hanya dikendalikan beberapa pemain. Masalah yang sekarang terjadi pun bukanlah pertama kali di Indonesia. Dengan demikian, pasar kedelai dan minyak goreng oligopoli.
"Ketika ada pemicu sedikit, harga sawit meningkat dan penggunaan sawit dibatasi untuk biodiesel dan produsen sawit jika mau ekspor harus diolah dulu, pasti kondisi ini lebih mudah dimainkan oleh produsen minyak goreng. Seharusnya hal ini bisa dipelajari dan dikendalikan," tutupnya.