Badan usaha milik negara (BUMN) diminta menyertakan perhitungan dividen saat mengajukan penambahan penyertaan modal negara (PMN). Pangkalnya, banyak perusahaan "pelat merah" yang mendapatkan suntikan dana setiap tahun, tetapi tidak tampak keuntungan yang disetorkan kepada negara.
"Kalau kita bicara PMN, kita tidak bisa keluar membicarakan dividen. Tapi, sejumlah PMN yang diberikan selama ini, kita tidak pernah melihat alokasi dari dividen itu berapa. Jadi, sejumlah PMN ini kalau kita hitung dividennya, tidak sedikit," ucap Wakil Ketua Komisi XI DPR, Achmad Hatari.
Ia melanjutkan, ketentuan tersebut diberlakukan bagi badan usaha milik daerah (BUMD) yang mengajukan penyertaan modal daerah (PMD). Namun, tidak pernah dilakukan BUMN.
Lebih jauh, Hatari menyampaikan, perhitungan kontribusi dividen diperlukan guna memastikan penggunaan PMN yang telah dan akan diberikan. Tanpa adanya perhitungan dividen, pemanfaatan PMN tidak diketahui.
"Kita juga tidak tahu PMN itu memang betul-betul dipergunakan untuk badan usaha itu atau ekspansi atau bayar hutang? Ini juga menjadi tidak jelas. Apalagi, kalau neraca itu tidak diaudit," tuturnya.
Diketahui, Kementerian BUMN mengusulkan pemberian PMN tunai Rp57,86 triliun dan nontunai Rp673 miliar dalam RAPBN 2024. PMN tunai ditujukan kepada 8 perusahaan, yakni PT PLN (Persero) Rp10 triliun, PT Hutama Karya (Persero) Rp22,5 triliun, dan PT Pelni (Persero) Rp4 triliun.
Kemudian, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (IFG) Rp6,56 triliun, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika Rp8 triliun, PT Inka (Persero) Rp3 triliun, PT Rekayasa Industri (Rekind) Rp2 triliun, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia atau ID Food Rp1,9 triliun.
Setahun sebelumnya, PMN yang diusulkan Kementerian BUMN sebesar Rp70 triliun. Namun, DPR hanya menyetujui Rp41,31 triliun.