Direktur Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Chandra Fajri Ananda menilai, kondisi ekonomi makro Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan negara lain. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 2022 mengalami peningkatan.
Chandra merincikan, di triwulan I-2022 pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 4,83%, kemudian di triwulan II-2022 naik jadi 5,60%, dan triwulan III-2022 kembali naik jadi 5,77%. Selain itu ia juga menyampaikan, sejumlah lembaga besar nasional maupun global memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2023 akan mengalami peningkatan. Lembaga tersebut antara lain, IMF yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh optimis di kisaran 5%, Bank Indonesia (BI) 4,5% sampai 5,3%, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memprediksi hingga 5,3%.
“PPKE FEB UB juga melakukan prediksi kondisi pertumbuhan ekonomi nasional pada 2023 mencapai 5,59%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekonomi Indonesia periode 2023 optimis mengalami pertumbuhan ekonomi berkisar pada angka 5%," ujar Candra dikutip dari keterangannya, Sabtu (31/12).
Di sisi lain, dosen FEB UB, Atu Bagus Wiguna mengatakan, Indonesia saat ini membutuhkan investasi dalam jumlah besar sebagai modal untuk menjaga pertumbuhan yang sustainable melalui berbagai sektor yang diunggulkan, dengan economic size Indonesia yang cukup besar saat ini.
“Sayangnya, Indonesia belum mampu menjadi daya tarik investasi utama, khususnya investasi asing,” kata Atu.
Atu Bagus menyebutkan, tantangan Indonesia ke depan adalah pada daya saing industri serta hilirisasinya. Meskipun potensi ekonomi yang besar sudah didukung oleh kerangka regulasi usaha yang mudah, namun tanpa adanya kemitraan dagang yang saling menguntungkan serta keterlibatan yang lebih intensif dalam global value chain, maka peningkatan produktivitas akan sulit untuk diwujudkan.
"Indonesia perlu memiliki komoditi khas yang memiliki nilai tambah tinggi dengan keterlibatan kemitraan yang luas. Sebagai contoh, China sebagai “factory of the world” yang mayoritas mengolah produk elektronik dan mesin dengan biaya produksi murah," katanya menambahkan.
Lebih lanjut, analis kebijakan Kementerian Keuangan, Risyaf Fahreza mengatakan, perbankan melakukan ekspansi penyaluran kredit hingga tumbuh double digit. Sampai dengan Oktober 2022, penyaluran kredit tumbuh 11,95% (yoy) atau lebih tinggi dibandingkan level pre-pandemi.
"Pertumbuhan ini utamanya didukung oleh peningkatan kredit produktif, yakni kredit modal kerja dan kredit investasi. Pertumbuhan kredit konsumsi juga meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya konsumsi masyarakat," tutur Fahreza.
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) masih tumbuh positif meskipun mengalami perlambatan laju pertumbuhan. Sampai dengan Oktober 2022, DPK tumbuh 9,41% (yoy). Intermediasi perbankan yang semakin baik sejalan dengan pulihnya aktivitas ekonomi.
"Dari sisi penawaran, peningkatan kredit didukung oleh standar penyaluran kredit yang tetap longgar, seiring dengan membaiknya appetite perbankan. Dari sisi permintaan, perbaikan intermediasi perbankan ditopang oleh pemulihan kinerja korporasi dan rumah tangga serta berlanjutnya aktivitas masyarakat," ujarnya.
Fahreza memproyeksi gejolak dan ketidakpastian ekonomi global masih menjadi risiko yang perlu diperhatikan di sektor keuangan, terutama karena inflasi global yang masih persisten tinggi dan meningkatnya kekhawatiran terhadap resesi global. Selain itu, kebijakan moneter The Fed dan sejumlah bank sentral utama lainnya diperkirakan masih akan cukup ketat untuk mengembalikan inflasi ke level sasaran.
"Karena itu, tekanan terhadap sektor keuangan pada tahun 2023 mendatang dirasa masih cukup kuat. Meskipun sektor keuangan domestik masih cukup resilien dalam menghadapi risiko yang mungkin akan datang," kata Fahreza.