Aksi boikot meluas, bagaimana hubungan dagang RI dan Israel?
Seruan aksi boikot merek-merek terafiliasi Israel kian menyeruak di tengah invasi Israel yang kian brutal terhadap Palestina. Konten-konten aksi Boycott, Divestment and Sanction (BDS) pun ramai di sosial media seperti Instagram. Aksi ini juga diikuti dengan imbauan penggunaan produk lokal sebagai substitusi produk yang diboikot.
“Tujuan berhenti beli produk perusahaan ‘si rewel’ dan sekutunya, buat ngurangin dana yang ngalir ke ‘si rewel’, kalau kita beli produknya sama aja nambahin rudal yang mereka kirim ke tanah yang lagi mereka colong. Kedua supaya perusahaan-perusahaan besar itu kapok dan narik dukungannya dari ‘si rewel’,” kata akun Instagram @ihyaddini92.
Postingan itu mendapat 97 ribu likes, 2.362 komentar, dan di-share hingga 19 ribu pengguna Instagram. Konten kreator ini menekankan cara boikot menjadi salah satu bentuk gertakan bagi sejumlah pihak yang masih mendukung Israel dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
“Emang susah mungkin awalnya karena hampir semua basic need dari produk mereka ada di rumah kita jadi solusinya kalau ada produk substitusinya ya pakai,” kata wanita berhijab ini dengan berapi-api.
Maraknya seruan boikot di tanah air disambut baik Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika. Ia menyatakan seruan boikot itu bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk beralih menggunakan produk dalam negeri. Bahkan, selain dalam rangka mendukung perjuangan rakyat Palestina lepas dari penjajahan, seruan boikot produk Israel juga bisa memperkuat industri dalam negeri.
Menurutnya, ajakan boikot tersebut sejalan dengan upaya pemerintah melakukan pengetatan masuknya barang impor ke dalam negeri. “Mudah-mudahan itu akan menjadi momentum yang bagus bagi kita untuk memperkuat pengetatan arus barang karena kita masih impor beberapa produk," katanya saat berbicara dalam rilis Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Oktober 2023 di Jakarta, Selasa (31/10).
Ia mengharapkan saat masyarakat lebih memilih produk lokal maka produksi dalam negeri bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh pasar domestik.
Sementara itu, pegiat gerakan BDS di Indonesia Giri Taufik menilai gerakan BDS terhadap merek yang terafiliasi dengan Israel ini terinspirasi dari gerakan-gerakan dekolonisasi. Misalnya South Africa, Rhodesia yang melawan sistem apartheid.
Menurutnya, meski tidak langsung terkait dengan Israel, beberapa perusahaan seperti McDonalds tetap terafiliasi dengan induknya dari Amerika Serikat, sebagai negara yang menyokong aksi Israel. “Nah mereka adalah satu jaringan sebenarnya, yang didorong adalah untuk agar si McDonald's Indonesia itu menyatakan posisi terhadap apa yang dilakukan oleh McDonald's Israel itu adalah bukan bagian dari mereka dan mengecam, yang kita ingin itu,” bebernya kepada Alinea.id, Sabtu (4/11).
Dia menegaskan, gerakan BDS juga tidak serampangan namun memiliki target khusus. Meski berimplikasi secara ekonomi, gerakan boikot sendiri merupakan sebuah aksi politis.
“Untuk apa? Untuk persamaan hak bagi orang-orang yang tinggal di bawah pendudukan Israel. jadi pentingnya itu untuk memahami itu sehingga diskursusnya itu tidak dikacaukan dari orang yang sangat benci Israel. Kita dasarnya bukan kebencian, kita dasarnya bukan strateginya dukungan buta, kita dasarnya adalah kemanusiaan dan ini aksi politik yang juga terukur, targeted itu,” bebernya.
Hubungan dagang RI-Israel
Untuk diketahui, meski tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia tercatat tetap memiliki hubungan dagang dengan negara yang dipimpin Benyamin Netanyahu ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sejumlah produk yang diimpor Indonesia dari Israel.
"Kalau kita tidak memiliki hubungan diplomatik tidak berarti secara ekonomi kita tidak boleh melakukan hubungan dagang. Tetap bisa dilakukan karena ini sifatnya business to business," kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (16/10) lalu.
Adapun komoditas utama barang impor dari Israel yaitu mesin peralatan mekanis dan bagiannya, perkakas dan peralatan logam tidak mulia, serta mesin perlengkapan elektrik dan bagiannya. "Total impor Israel selama Januari sampai September 2023 adalah 14,4 juta dolar AS," tambahnya.
Sementara itu, nilai impor Israel ke Indonesia pada 2020 adalah 56,5 juta dolar AS. Lalu pada 2021 nilai impornya mencapai 26,5 juta dolar AS dan pada 2022 mencapai 47,8 juta dolar AS.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang mengungkapkan tren positif dalam ekspor produk-produk Indonesia ke Israel. Menurut data terbaru yang mencakup bulan April 2023, Indonesia berhasil mengekspor berbagai produk dengan total nilai mencapai US$13,75 juta. Secara kumulatif, total ekspor Indonesia ke Israel mencapai USD 52,93 juta.
Produk-produk yang diekspor Indonesia ke Israel mencakup lima kategori utama, yaitu lemak dan minyak hewani/nabati, alas kaki, berbagai produk kimia, serat stapel buatan, serta ampas dan sisa industri makanan.
Kementerian Perdagangan juga mencatat bahwa pada tahun 2022, nilai total ekspor Indonesia ke Israel mencapai US$185,6 juta. Angka ini menunjukkan peningkatan sekitar 14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Secara rinci, dalam periode lima tahun terakhir (2018-2022), nilai ekspor Indonesia ke Israel mengalami pertumbuhan sekitar 11%, sedangkan nilai impor Israel naik sekitar 0,9%.
Menanggapi hal ini, Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan sebagai negara dengan perdagangan yang terbuka, Indonesia memang tidak membatasi perdagangan dengan Israel. “Jadi semua negara dianggapnya sebagai mitra dagang. Kalau dari sisi ekspor tentu untuk memperluas basis pasar ya, sementara kalau dari sisi impor adalah karena kita masih ada ketergantungan ya terutama dalam konteks teknologi,” bebernya kepada Alinea.id, Jumat (3/11).
Namun, dia menilai hubungan dagang Indonesia dan Israel tidak signifikan, baik untuk Indonesia maupun untuk Israel. “Israel itu enggak ada satu persennya dari surplus (neraca perdagangan) kita,” tambahnya.
Saat ini, dampak dari boikot produk terafiliasi memang belum terlihat efektif, namun gerakan ini sangat sah dilakukan sebagai bagian dari sikap politik rakyat Indonesia. Namun, tambah dia, jika boikot diperluas pada produk-produk dari negara sekutu Israel, maka dampaknya bisa sangat meluas. Meskipun, Amerika Serikat adalah pasar terbesar kedua bagi produk Indonesia. Di sisi lain, dia juga menilai aksi boikot perlu dibarengi dengan ketersediaan produk substitusi di tanah air.
“Itu sangat signifikan berpengaruh, bisa juga dilakukan poinnya misalkan kalau ada produk-produk yang lain yang lebih bisa mensubstitusi dari produk Israel itu. Menurut saya sih itu langkah yang cukup strategis, tapi kalau bicara efektivitas itu mungkin bisa kita lihat nanti,” bebernya.
Mengurangi koneksi
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dan Ekonom UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat MPP menilai perekonomian global saat ini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni konflik di Timur Tengah antara Palestina dan Israel, serta perang yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina.
“Konflik-konflik ini tidak hanya mengancam wilayah tempat konflik terjadi, tetapi juga berpotensi mengurangi keterhubungan ekonomi antara negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia,” ujarnya.
Menurutnya, aksi Israel terhadap Palestina akan membuat deglobalisasi semakin meningkat. Selain itu, hubungan geopolitik AS di Timur Tengah juga semakin memburuk, dengan AS mengirim dua kapal induk dan 2000 tentara untuk melindungi Israel. “Ini dapat merusak reputasi AS di mata dunia Islam, termasuk Indonesia,” tegasnya.
Dia menilai keretakan geopolitik ini dapat menyebabkan berkurangnya kerja sama perdagangan antar negara, pembagian informasi, teknologi, dan hubungan pasar keuangan. “Jika situasi di Timur Tengah terus meningkat, ini dapat menyebabkan perpecahan yang lebih besar di kawasan tersebut dan mungkin juga di antara beberapa pelaku ekonomi utama lainnya,” tambahnya.
Belum lagi dukungan AS yang kuat terhadap Israel dapat menyebabkan negara-negara lain seperti China, Rusia, dan Iran mengambil sisi menentang Israel, yang dapat memburuknya hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan negara-negara tersebut. “Ini juga dapat menyebabkan inflasi global dan kenaikan suku bunga di seluruh dunia, yang pada akhirnya akan memperparah pertumbuhan ekonomi global,” ungkapnya.
Karenanya, dia menyarankan negara-negara di seluruh dunia termasuk Indonesia perlu memperkuat ekonomi domestik mereka dan mengurangi ketergantungan mereka pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
“Indonesia perlu memperkuat ekonomi domestiknya dengan fokus pada pengembangan sektor-sektor strategis seperti infrastruktur, pendidikan, dan teknologi. Investasi di sektor-sektor ini akan meningkatkan produktivitas dan daya saing ekonomi Indonesia, sehingga mampu bersaing di pasar global,” sebutnya
Selain itu, diversifikasi pasar ekspor menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara tertentu. Menurutnya, dengan memperluas pasar ekspor, Indonesia dapat melindungi diri dari dampak negatif ketidakstabilan geopolitik di negara-negara tujuan ekspor utama.