Kenaikan harga komoditas tambang, khususnya batu bara membuat pengusaha lebih memilih ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO). Apalagi harga DMO dipatok hanya US$70 per ton, sementara harga di pasar internasional sempat mencapai di atas US$200 per ton.
Disparitas harga ini membuat pengusaha lebih memilih ekspor daripada memenuhi DMO. Alhasil pasokan batu bara dalam negeri, khususnya PT PLN (Persero) menjadi seret. Hingga akhirnya pemerintah mengambil langkah pelarangan ekspor.
Untuk itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, meminta kepada pemerintah agar masalah disparitas harga ini diperhatikan. Karena kelangkaan kerap terjadi saat harga batu bara sedang tinggi-tingginya.
"Harga ini jadi salah satu poin penting bagaimana skema yang akan diambil paling tidak memperhatikan disparitas harga," paparnya di Komisi VI DPR, dikutip Kamis (20/1).
Hendra menegaskan, meski ada yang tidak memenuhi DMO, tetapi ada sebagian perusahaan yang tetap memenuhi dan bahkan di atas 100% dari persentase yang ditetapkan.
Dia berpandangan sanksi, denda, dan kompensasi DMO yang belum dilaksanakan kemungkinan menjadi dasar pemerintah melakukan pelarangan ekspor.
"Hasil pengamatan kami kelangkaan sering terjadi jika lonjakan harga sangat tinggi, kemudian pada saat yang sama juga ada gangguan cuaca dan menyebabkan ada gangguan," paparnya.
Sebelumnya, ekonom senior Faisal Basri mengatakan, sebaiknya tidak perlu ada DMO batu bara dan sanksi lainnya. Dia menyarankan agar diberlakukan pajak ekspor. Sebab selama ini, dengan tidak adanya pajak ekspor, pemerintah sudah memanjakan pengusaha batu bara.
"Apa gunanya pajak ekspor? Untuk penuhi Pasal 33 UUD 1945 bahwa batu bara ini milik negara, milik rakyat. Digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kalau sekarang batu bara dimanja, seluruh windfall dinikmati pengusaha," paparnya dalam diskusi di Kompas Tv Selasa (18/1) malam.
Faisal menjelaskan, pajak ekspor bisa diterapkan dengan menyesuaikan harga batu bara di pasaran. Misal saat harga US$50 per ton maka pajak ekspor nol. Saat harga US$60 per ton pajak ekspor 5%, harga US$100 per ton pajak ekspor 15%, dan saat mencapai US$150 per ton pajak ekspor 25%.
"Kalau 25% pemerintah Indonesia dapat Rp 117 triliun, dikasih ke PLN Rp 25 triliun selesai. PLN membeli (batu bara) pasti lebih murah karena pajak ekspor," jelasnya.
Semakin tinggi pajak ekspor yang diterapkan, maka akan semakin turun harga domestik. Sehingga tidak perlu dipaksa harga batu bara di dalam negeri turun, cukup diterapkan pajak ekspor saja.
"Tidak ada denda, tidak dikenakan sanksi, tidak ada yang dipenjara. Kok kita itu ribet hidup bernegara ini," paparnya.