Ambisi mengganti gandum dengan sorgum, realistiskah?
Dampak krisis pangan yang melanda banyak negara sudah mulai terasa. Hal ini terlihat dari merosotnya produksi pangan, utamanya jenis serealia yang dikuti oleh penurunan suplai pasar.
Dengan kondisi ini, negara-negara eksportir utama pangan lantas menutup atau membatasi ekspor. Musababnya tak lain adalah untuk mengamankan stok pangan domestik. Seperti yang telah diketahui, India mulai menutup keran ekspor gandum sejak 14 Mei lalu, menyusul gelombang panas yang merusak tanaman gandum sebelum musim panen.
Hal ini lantas diikuti oleh produsen gandum lain seperti Rusia, Ukraina, Aljazair, Mesir, Serbia, Kazakhstan, hingga Kosovo. “Kita monitor ada 9 negara yang melakukan pelarangan (ekspor) gandum. Kazakhstan sampai 31 September. Yang sampai 31 Desember ada Kirgizstan, India, Afganistan, Aljazair, Kosovo, Serbia, dan Ukraina,” rinci Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan pers usai rapat terbatas di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/8).
Dus, pasar pun panik dan harga-harga komoditas pangan langsung meroket. Hal ini diikuti pula oleh lonjakan harga komoditas energi. Dari catatan FAO (Food and Agricultural Organization) alias Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia, indeks harga pangan dunia telah mengalami penurunan hingga 11,8% ke level 140,9, dari level tertinggi pada Maret lalu yang sebesar 159,7.
Penurunan terbesar dialami oleh indeks harga minyak nabati 19,2% ke level 171,1. Kemudian diikuti oleh penurunan indeks harga serealia atau biji-bijian sebesar 11,4% ke level 147,3 dan indeks harga gula yang turun 3,8% ke level 112,8. Kemudian indeks harga bahan makanan dari susu (dairy) sebesar 2,5% ke posisi 146,4 dan indeks harga daging 0,5% ke posisi 124,0.
Meski turun, indeks harga pangan dunia masih lebih tinggi 13,1% dari periode Juli 2021, yaitu pada level 124,56. Di Indonesia, lonjakan harga pangan tercermin dari inflasi kelompok harga pangan bergejolak alias volatile food, yang pada bulan lalu sebesar 11,47%. Lebih tinggi dibandingkan dengan periode Juni 2022 yang 10,07% dan Mei 6,05%.
Berdasarkan catatan Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP), beberapa komoditas pangan yang mengalami kenaikan pada Juli 2022 antara lain, cabai-cabaian, bawang merah, tomat, hingga mi instan. Sedang komoditas yang mengalami penurunan yakni minyak goreng, telur ayam ras, kangkung, sawi hijau, bawang putih, dan bayam.
“Dunia sedang bergejolak. Tidak menyerang langsung, tapi kita kena dampaknya dan mengharuskan kita untuk melindungi diri,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, pada sambutannya dalam peluncuran Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi, Rabu (10/8).
Berharap pada tanaman kuno
Untuk mengatasi krisis pangan ini, pemerintah tengah menyiapkan rencana besar, salah satunya adalah dengan memanfaatkan alternatif bahan pangan. Sebagai negara agraris, Indonesia punya banyak diversifikasi pangan selain beras, beberapa di antaranya adalah jagung, sagu, singkong, hingga tanaman kuno yang telah lama dilupakan masyarakat, sorgum.
Ihwal sorgum, awal Juni lalu Presiden Joko Widodo mulai membumikan wacana pengembangan sorgum sebagai pengganti gandum. Alasannya, selain karena kenaikan harga yang terus terjadi lantaran semakin banyak negara menutup pintu ekspor, konsumsi gandum masyarakat juga terbilang tinggi.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa bilang, porsi pangan lokal dari gandum pada tahun 1970-an masih di bawah 5%. Namun meningkat menjadi 18% pada 2010. Selang 10 tahun kemudian atau di 2020, angkanya melonjak hingga 26% dan 27% di tahun ini.
Tahun | Jumlah |
2019 | 10,69 juta ton |
2020 | 10,29 juta ton |
2021 | 11,17 juta ton |
“Karena harganya murah,” katanya kepada Alinea.id, membeberkan alasan mengapa konsumsi gandum terus meningkat dari tahun ke tahun, Kamis (18/8).
Dari catatannya, sebelum meletusnya perang Rusia-Ukraina, harga tepung gandum berada di kisaran Rp8.500 hingga Rp9.000. Lebih rendah dari harga beras medium yang sebesar Rp10.400 atau tapioka yang seharga Rp16.000 hingga Rp30.000.
Namun, ketika konflik terjadi harga tepung gandum mengalami kenaikan, hingga pertengahan Agustus berdasarkan data Trading Economics, harga gandum berjangka Chicago berada di level US$733,97 per gantang. Dengan Indonesia yang mengandalkan impor untuk pemenuhan kebutuhan domestik, kenaikan harga gandum jelas menjadi tantangan tersendiri. Harga terigu yang berbahan dasar gandum pun ikut terkerek.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan (SP2KP Kemendag), pada akhir pekan lalu harga tepung terigu berada pada level Rp12.300. Angka ini naik 20,59% dari periode di tahun sebelumnya, yang pada 16 Agustus 2021 harga tepung terigu ada di kisaran Rp10.200 per kg.
Di tengah lonjakan harga gandum, impor nasional terhadap komoditas ini pun tidak sedikitpun menunjukkan perlambatan. Sebaliknya, impor gandum Juli 2022 naik 10,62% dibanding bulan sebelumnya (month on month/mom) menjadi 604,02 ribu ton.
Sementara itu, pemilihan sorgum sebagai substitusi gandum bukan tanpa sebab. Direktur Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Ismail Wahab menjelaskan, sorgum cukup mudah dibudidayakan, tidak seperti gandum yang memang tidak bisa ditanam di tanah Ibu Pertiwi.
Dia bilang, selain benih dan bibitnya telah tersedia, sorgum juga mudah menyesuaikan kondisi lahan setempat dan tahan dalam kondisi ekstrim seperti kekeringan atau tanah miskin unsur hara. Sorgum bahkan pun bisa ditanam pada lahan tumpangsari seperti jagung atau di lahan kering sekalipun.
“Sorgum bisa diratum, jadi sangat efisien dan tidak mengganggu tanaman jagung. Ketika jagung tidak bisa tumbuh, sorgum bisa tumbuh,” katanya, kepada Alinea.id, Jumat (19/8).
Dari sisi produksi, produktivitas sorgum juga terbilang cukup besar. Dalam sekali tanam, sorgum dapat dikepras atau dipanen hingga 3 kali. Selain itu, di lahan 100 hektare yang ditanami sorgum, produksinya bisa mencapai 3 ton.
Di Indonesia, berdasar data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, sebaran lahan tanaman sorgum paling banyak ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan produksi masing-masing 3 hingga 4 ton per hektare. Kemudian di Jawa Tengah dan Jawa Timur produksi sorgum mencapai 4 hingga 5 ton per hektare. Di mana luas total lahan sorgum di 4 wilayah ini mencapai sekitar 15 ribu hektare.
“Pengembangan sorgum sudah kami mulai dengan menyiapkan benih sorgum dan sosialisasi ke dinas terkait tentang potensi lahan pengembangan sorgum tahun 2023 di seluruh Indonesia,” ujar Ismail.
Penuh tantangan
Terlepas dari berbagai potensi dan gambaran besar pengembangan sorgum, ambisi pemerintah untuk mensubstitusi gandum dengan tanaman dengan nama latin Sorgum Bicolor L. Moench ini diperkirakan tidak akan mudah. Komisaris PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang atau yang karib disapa Franky mengaku, meski harga gandum kian melambung, produsen Indomie ini belum berencana beralih ke sorgum.
Sepuluh tahun lalu, Indofood sempat menjajal sorgum sebagai bahan baku utama produksi mereka. Namun karena suplai sorgum tidak konsisten dan harga tepungnya lebih mahal dari terigu, upaya ini justru berujung kegagalan.
“Tidak ada konsistensi tanam sorgum dari Kementerian Pertanian. Ini hilang timbul,” katanya kepada Alinea.id beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, untuk mengolah biji sorgum sebagai tepung, membutuhkan mesin yang berbeda dengan pengolahan gandum untuk tepung terigu. Dus, akan ada investasi tambahan bagi produsen makanan olahan gandum untuk mensubstitusi gandum dengan sorgum.
“Karena jenis sorgumnya pun tidak tahu, maka siapa yang mau investasi? Kemudian juga pengembangannya juga belum jelas,” imbuh Franky.
Hal ini pun diamini oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman. Menurutnya, meskipun digunakan oleh produsen makanan, sorgum dinilai tidak bisa menggantikan gandum dalam makanan dari olahan gandum 100%, khususnya roti, biskuit dan mi.
Sebab, untuk membuat makanan dengan kualitas baik, produsen membutuhkan kandungan gluten yang terdapat dalam gandum. Sementara sorgum dikenal sebagai tanaman biji-bijian yang bebas gluten.
“Gandum banyak digunakan untuk menghasilkan produk yang butuh gluten, seperti mi itu butuh elastisitas. Gluten digunakan agar mi tidak mudah patah, hancur. Biskuit juga begitu. Sedangkan roti, gluten dibutuhkan agar bisa mengembang. Sumber gluten di gandum tinggi,” kata Adhi, saat dihubungi Alinea.id, Selasa (16/8).
Karena itu, sorgum memang bisa digunakan sebagai campuran bahan makanan, tapi tidak bisa digunakan untuk menggantikan gandum. Selain itu, jika benar-benar ingin menjadikan komoditas ini sebagai campuran gandum, pemerintah juga diharuskan untuk meningkatkan produktivitas sorgum dan mengembangkannya dalam skala besar.
“Kalau produksinya masih kecil sama saja tidak efisien, karena harga tepungnya malah akan jadi mahal. Makanya, pengembangan sorgum ini harus diatur skema industrialisasinya dari hulu ke hilir, sampai bisa produktif dan efisien,” jelasnya.
Terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, mengganti gandum dengan sorgum mustahil bagi Indonesia. Sedangkan untuk substitusi atau mengurangi konsumsi gandum setidaknya 10% dan menggantinya dengan sorgum membutuhkan usaha ekstra keras.
Sebab meskipun daya tahan sorgum cukup kuat, namun tanaman jenis biji-bijian ini hanya akan tumbuh dengan baik di wilayah tertentu saja. Di sisi lain, minat masyarakat untuk menanam sorgum pun sudah jauh berkurang.
“Dulu, masyarakat Jawa memang banyak nanam sorgum sebagai cadangan pangan di masa paceklik, karena sorgum kan tahan terhadap kekeringan. Tapi sekarang kalah dengan tanaman lain,” jelasnya
Dwi mencontohkan, di beberapa wilayah, khususnya di Jawa, sorgum banyak ditanam di lahan tadah hujan dan lahan-lahan lain yang sumber airnya tidak banyak. Selain untuk sorgum, syarat tanah ini berlaku pula untuk lahan tanam jagung.
“Dengan ini saja, banyak petani yang kemudian beralih ke jagung. Makanya sekarang petani yang menanam sorgum di Jawa sudah sangat berkurang,” imbuh dia.
Sementara di Indonesia bagian timur yang terkenal sebagai produsen terbesar sorgum, khususnya di NTT dan NTB, saat ini lahan tanam sorgum di wilayah itu memang masih lebih banyak dibandingkan yang ada di Jawa. Namun, kini masyarakat dua wilayah tersebut juga sudah menggeser konsumsi sehari-hari mereka dari sorgum dan jagung menjadi beras. Alhasil penanaman komoditas ini pun tak lagi massif.
Hal ini dapat diartikan bahwa petani jelas akan menanam tanaman yang lebih menguntungkan bagi mereka. Karenanya, jika petani merasa bahwa menanam sorgum akan lebih menguntungkan, maka mereka perlahan akan kembali beralih untuk menanam komoditas ini.
Pada praktiknya, harga sorgum di tingkat petani saat ini relatif lebih rendah, dari jagung apalagi gandum. Di tingkat petani, sorgum dihargai Rp2.500 sampai Rp3.500 per kilogram, sedangkan jagung ada di kisaran Rp4.500 sampai Rp5.000 per kg.
“Produktivitasnya jelas jauh lebih tinggi jagung. Petani jelas lebih pilih jagung lah,” katanya.
Dari harga tersebut, jika jaringan usaha tani memproduksi 5 ton sorgum, maka mereka hanya akan mendapat Rp15 juta dalam sekali produksi. Namun, Dwi menggaris bawahi, pendapatan ini masih belum memasukkan biaya produksi yang harus dikeluarkan petani untuk menghasilkan 5 ton sorgum.
Dari pengalaman petani-petani yang sampai saat ini masih menanam sorgum, setidaknya dibutuhkan biaya sebesar Rp15 juta per hektar. Meskipun ditekan, para petani masih harus mengeluarkan biaya Rp10 juta untuk menghasilkan sorgum berkualitas dengan jumlah banyak.
“Kalau begini kan berarti petani enggak untung. Kalaupun mau ditekan sampai Rp10 juta, untung, tapi sedikit sekali. Kalau mau ditekan lagi, sudah barang tentu produktivitasnya juga menurun juga. Nah dengan untung Rp5 juta sehektar, siapa juga yang mau tanam?” kata Dwi.
Berbanding terbalik dengan harga jual sorgum di petani, harga jual tepung sorgum relatif lebih mahal ketimbang tepung gandum. Di pasaran, tepung sorgum dijual dengan harga di kisaran Rp15.000 per kg sedangkan tepung gandum sekitar Rp9.000.
“Dengan harga ini, produsen makanan jelas akan berpikir berkali-kali untuk menggunakan sorgum,” kata Pengamat Pangan dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah, kepada Alinea.id, Jumat (19/8).
Selain masalah harga, tantangan lainnya dalam mengembangkan sorgum sebagai pengganti gandum adalah adaptasi masyarakat untuk makan makanan dengan bahan baku sorgum. Berkaca dari gandum, dulu komoditas ini membutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk dikenal oleh lidah masyarakat.
“Sudah barang tentu hal ini akan dialami juga oleh sorgum,” imbuhnya.
Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, baik Dwi maupun Rusli sepakat bahwa untuk menyukseskan program substitusi gandum dengan sorgum, pemerintah harus meningkatkan keseriusannya. Sebab, sama seperti sebelum-sebelumnya, program diversifikasi pangan pemerintah kerap berujung kegagalan karena kurangnya keseriusan dan keberlanjutan program.
Kemudian, pekerjaan rumah pemerintah selanjutnya adalah jangan lupa untuk melibatkan semua pengusaha yang berkaitan dengan sorgum misalnya pengusaha mi dan roti, baik pemain lama, pemain baru hingga UMKM.
"Kalau semua sudah dilibatkan, produktivitas di petani dijaga dan kesejahteraan petani ditingkatkan, sorgum bisa saja untuk diversifikasi," lanjut Rusli.