close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pekerja mengemas beras yang dibeli konsumen di Pasar Palmerah, Jakarta. Foto dokumentasi Antara Foto.
icon caption
Pekerja mengemas beras yang dibeli konsumen di Pasar Palmerah, Jakarta. Foto dokumentasi Antara Foto.
Bisnis - Pangan
Kamis, 07 November 2024 18:51

Ancaman kelangkaan dan kenaikan harga beras jelang pilkada

Aksi borong beras untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat dapat menyebabkan kelangkaan beras.
swipe

Aksi borong beras untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat yang dilakukan jelang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada 2024 dapat menyebabkan kelangkaan beras. Harga komoditas pangan itu pun terancam terkerek. 

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian meminta pemerintah daerah untuk mewaspadai ancaman kelangkaan beras menjelang pemungutan suara pada 27 November 2024 nanti. Kelangkaan terjadi karena bahan pokok, termasuk beras diramal diborong oleh calon kepala daerah yang bertarung guna kepentingan politiknya. 

Tito mengaku telah menerima informasi ada indikasi kelangkaan beras mulai terjadi di beberapa daerah. Menurutnya, kondisi ini sama dengan saat pemilihan legislatif (pileg). Saat itu, dua pekan sebelum pileg 14 Februari 2024, terjadi kelangkaan beras di beberapa daerah. Salah satu penyebabnya adalah sejumlah caleg memborong beras untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat di daerah pemilihan.

"Dulu pernah terjadi, terutama dua minggu sebelum pileg pada 14 Februari 2024 yang lalu. Kalau kami lihat jejak digitalnya, kelangkaan beras pernah terjadi hampir dua minggu lebih. Setelah itu saya cek kenapa terjadi kelangkaan di beberapa tempat, ya ada yang memborong beras," ujar Tito dalam rapat koordinasi (rakor) pengendalian inflasi daerah yang digelar secara hybrid, Senin (4/11).

Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras premium di tingkat pedagang eceran mengalami kenaikan sebesar 0,32% menjadi Rp15.480 per kilogram (kg) per Rabu (6/11). Sementara harga beras medium naik di angka 0,30% menjadi Rp13.530 per kg pada periode yang sama.

Peneliti Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manap Pulungan mengatakan dampak kelangkaan beras tidak hanya terkait sektor ekonomi semata, tapi juga sosial. Masyarakat akan kelimpungan memenuhi kebutuhan pokoknya untuk pangan. 

Kelangkaan juga mengakibatkan harga beras melonjak tinggi. Akhirnya masyarakat miskin yang harus menanggung beban tersebut.

“Kemarin kan pas pilpres (pemilihan presiden) terjadi harga beras tinggi karena ini bahan pokok Indonesia, kalau bermasalah akan heboh bukan masalah ekonomi tapi juga sosial,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (5/11).

Beras terancam langka karena sulitnya mengganti komoditas tersebut dengan pangan lain untuk konsumsi masyarakat. Ditambah, stok beras di tingkat global juga menipis seiring langkah India yang menerapkan kebijakan menyetop ekspor beras.  

Untuk mengatasi kelangkaan dan kenaikan harga beras di dalam negeri, menurut Abdul, pemerintah harus memperbaiki tata kelola perberasan. Langkah itu juga diambil guna menekan impor. 

“Tidak ada solusi pengganti beras di sektor pangan, jadi beras ini memang bahan pokok," katanya. 

Cegah politik beras

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Jaya Darmawan mengatakan fenomena kelangkaan beras terjadi pada Pilpres 2024 yang lalu. Stok beras murah stabilisasi pasokan harga pangan (SPHP) berkurang akibat politik bantuan sosial (bansos) untuk kampanye. SPHP dibagi-bagikan kepada masyarakat jelang pemungutan suara. 

Analisisnya, kondisi serupa juga terjadi saat pilkada. Apalagi, produksi beras nasional tahun ini lebih rendah ketimbang tahun lalu. Produksi beras nasional berdasarkan hasil Kerangka Sampel Area Padi Badan Pusat Statistik (BPS) Januari hingga Desember 2024 diperkirakan hanya 30,34 juta ton atau turun 760.000 ton dibandingkan dengan realisasi produksi beras tahun lalu sebesar 31,1 juta ton. 

“Hal ini berpotensi menaikkan harga beras karena supply yang tidak memadai dan biasanya direspons oleh pemerintah dengan impor,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (6/11).

Menurutnya, politik beras ini berpotensi mengurangi stok beras di pasar dan SPHP. Ujung-ujungnya, masyarakat yang benar-benar membutuhkan akan dirugikan karena terancam tidak dapat bansos.

Kenaikan harga beras juga membuat beban masyarakat kian berat. Di sisi lain, petani tak diuntungkan secara langsung oleh kenaikan harga beras karena pemerintah merespons kelangkaan beras dengan impor.

Bagi-bagi beras juga disebut melanggengkan politik biaya mahal yang rentan korupsi dan mengganggu manfaat progam Perlindungan Sosial (Perlinsos).

Untuk itu, Jaya menyebut, pemerintah perlu terus memantau stok beras di pasar dan mengendalikan harga dengan operasi pasar. Serta mengoptimalkan penyaluran beras bansos dengan peningkatan sinkronisasi Data Terpadu kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan Data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).

“Atau mencegah politisasi bansos dengan memperjelas aturan larangan bansos di pilkada,” jelasnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan