Ancaman nyata kala mesin mulai menggantikan manusia
Sasya, sosok wanita dengan rambut hitam dan panjang sebahu tampil cantik dan percaya diri saat membacakan berita. Pun demikian dengan Nadira yang mengenakan hijab dan memiliki kulit berwarna kecoklatan. Sementara Bhomi dengan rambut yang bergelombang juga terlihat apik kala menjadi presenter di TV berita, TvOne.
Stasiun televisi swasta yang berkantor di kawasan Pulo Gadung, Jakarta Timur ini telah memperkenalkan ketiga presenter anyar itu kepada para pemirsa, pada Selasa, 25 April silam. Ketiganya ternyata bukan sosok wanita biasa namun sebenarnya lahir dari hasil kecanggihan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
“Tiga pembawa acara itu, merupakan simbol menuju perubahan dan perubahan selalu menuntut adaptasi, karena itulah kami terus beradaptasi," kata CEO TvOne Taufan Eko Nugroho.
Menurutnya, ketiga presenter AI ini merupakan inovasi stasiun TV ini demi mengenalkan teknologi AI ke tengah masyarakat Indonesia. Inovasi ini sekaligus menjadi yang pertama diterapkan oleh stasiun TV swasta di tanah air.
Ketiga sosok presenter AI ini memiliki kemampuan membaca teks berita dengan intonasi dan ekspresi yang tepat. Di sisi lain, sistem AI juga dapat membaca dan memproses informasi dengan cepat dan akurat.
Dus, proses produksi berita dapat dipercepat dan dapat mengurangi biaya produksi serta memperluas jangkauan siaran ke daerah terpencil atau daerah yang sulit dijangkau manusia. Meski begitu, Taufan menegaskan TvOne akan tetap mempertahankan kehadiran presenter manusia sebagai host utama dalam program berita.
Tak hanya presenter, profesi di bank pun mulai menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Sebut saja Bank BCA yang viral pada Februari silam karena customer service bernama Vira. Teller bank atau customer service memang menjadi salah satu profesi yang akan tergantikan oleh kecerdasan buatan.
Selain itu, ada pula tenaga kerja lain seperti petugas layanan pos, kasir dan petugas tiket, sekretaris, pengawas gudang, layanan bisnis dan manajer administrasi, staf akuntansi dan pembukuan, resepsionis, satpam, hingga tenaga sales. Namun, di sisi lain, ada pula jenis pekerjaan baru yang bertambah berkat teknologi AI seperti spesialis AI, spesialis keberlanjutan, operator alat pertanian, spesialis transformasi digital, analis data, ilmuwan, ahli robotik, ilmuan elektronik, ahli fintech, dan penganalisa bisnis.
Proyeksi ini diluncurkan World Economic Forum (WEF) melalui survei 'Future of Jobs Report 2023. Survei ini juga memaparkan adanya kekhawatiran terkait perkembangan teknologi saat ini tak terkecuali adanya chatbot bertajuk ChatGPT yang viral belakangan ini karena dapat melakukan interaksi percakapan dengan penggunanya secara canggih. WEF memprediksi teknologi baru dari AI seperti ChatGPT, dikhawatirkan menjadi salah satu pendorong hilangnya beberapa pekerjaan.
WEF menyebut berdasarkan survei yang dilakukan, hampir 75% perusahaan akan mengadopsi teknologi tersebut. Sekitar 50% perusahaan mengharapkan ada peningkatan lapangan kerja baru dari teknologi AI, sementara 25% memperkirakan akan ada penurunan. Dus, WEF juga memperkirakan setidaknya 83 juta pekerjaan di dunia akan hilang dalam lima tahun ke depan. Laporan ini sendiri merupakan survei terhadap 803 perusahaan yang mempekerjakan 11,3 juta pekerja pada 27 sektor industri di 45 negara.
Direktur Pelaksana WEF Saadia Zahidi mengungkapkan responden perusahaan memprediksi perubahan struktural pasar tenaga kerja yang akan berdampak pada 23% pekerjaan hingga 2027.
"Dari 673 juta pekerjaan yang tercermin dari set data laporan ini, responden memperkirakan pertumbuhan pekerjaan struktural sebanyak 69 juta dan penurunan 83 juta pekerjaan. Hal itu setara dengan penurunan bersih 14 juta pekerjaan atau 2% dari total pekerjaan saat ini," ujar Zahidi dalam laporan tersebut, dikutip Rabu (3/5).
Pasti terjadi
Berkurangnya jenis pekerjaan pada lima tahun mendatang cepat atau lambat pasti akan terjadi. Seperti halnya sudah menimpa beberapa perusahaan dunia seperti IBM yang menggantikan 7.500 karyawan dengan AI. Bahkan, perusahaan AS ini juga akan menggantikan 30% pekerjanya dengan mesin. Saat ini, produsen perangkat lunak dan keras untuk komputer ini juga sudah memberhentikan 3.900 orang. Angka ini juga diperkirakan tidak berhenti sampai disini.
“Ini gila sih, gw enggak tahu kapan ini bakal merambah ke Indonesia tapi sooner or later pasti terjadi. Caranya jangan takut AI, tapi pelajari dari sekarang,” kata konten kreator Raymond Chin dalam postingan di channel Youtubenya.
Lebih lanjut, Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gajah Mada (UGM) Tadjudin Effendi menilai sudah banyak perusahaan yang mengadopsi kecerdasan buatan seperti robot sejak lama. “Robot bisa melakukan semua yang dilakukan manusia asal diprogram. Programnya canggih karena menciptakan algoritma memungkinkan menghasilkan karya menggunakan basis data jadi nanti para ilmuwan akan kehilangan pekerjaan,” ungkapnya kepada Alinea.id, Rabu (31/5).
Karenanya, ia pun menilai sangat mungkin akan banyak jenis pekerjaan yang menghilang di era AI. Pasalnya, pekerjaan yang semula dikerjakan oleh manusia membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan bisa hanya selesai dalam beberapa jam dengan teknologi AI.
“Jadi banyak analisis-analisis tingkat menengah di perusahaan-perusahaan tertentu bisa kehilangan pekerjaan, daripada bayar tenaga kerja, perusahaan masukkan sistem dan algoritma sudah bisa masukkan data,” tambahnya.
Menurutnya, Indonesia baru saja menciptakan Undang-undang Cipta Kerja yang bertujuan menarik investasi yang pada akhirnya banyak menyerap tenaga kerja. Namun, dengan adanya teknologi AI seperti ChatGPT maka tantangan untuk mengurangi angka pengangguran kian besar.
Mengingat mesin atau robot membuat industri memiliki opsi lain untuk menekan cost berupa upah pekerja. “Nantinya pekerjaan-pekerjaan kelas menengah di industri bisa hilang misalnya industri otomotif mau buat campuran cat, tinggal masukkan data buat ramuannya, jadi enggak tangan manusia lagi. Ini bisa mengurangi sekian ratus pekerja, ancaman nyata,” sebutnya.
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran pada Februari 2023 sebanyak 7,99 juta orang, berkurang sekitar 410 ribu orang dibanding Februari 2022. Adapun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2023 mencapai 5,45%, turun juga dibanding Februari tahun lalu yang masih 5,86%.
Menurutnya, proses hilangnya beberapa jenis pekerjaan ini memang tidak instan alias masih membutuhkan waktu sekitar 5 tahun dan jangka panjang hingga 10 tahun. Namun, di saat yang sama UU Ciptaker yang digadang-gadang bisa menyerap tenaga kerja dengan banyaknya investasi ini ternyata juga bukan hal mudah.
“Kalau dulu teknologi 4.0 yang kena kan level bawah misal penjaga tol, tenaga manusia di akuntansi yang rumit,” ungkap Tadjudin.
Karenanya, dia menilai pemerintah harus bergerak cepat untuk membuat angkatan kerja nasional yang mencapai 146,62 juta orang pada Februari 2023 bisa segera terserap. Caranya dengan membuka pelatihan agar tenaga kerja yang sudah ada bisa meng-upgrade keterampilannya.
Dus, mereka tidak akan gagap lagi pada perkembangan teknologi. Sayangnya, dalam menyambut era industri 4.0 saja, ia menilai pemerintah masih belum melakukan pelatihan tenaga kerja dengan maksimal. “Laporan (WEF) ini enggak main-main, studinya di seluruh dunia dan datanya sangat valid, tantangan yang 4.0 aja belum tuntas bagaimana pelatihan tenaga kerja ini,” kritiknya.
Bahkan ia menilai Indonesia termasuk ‘santai’ menyikapi perkembangan teknologi AI yang mengancam peran manusia di dunia kerja. Padahal di negara-negara maju tenaga kerja sudah semakin berkurang seiring dengan banyaknya inovasi.
“Pemerintah harus segera respons, cari tenaga-tenaga kerja yang bisa menguasai teknologi AI kemudian dilatih,” ungkapnya.
Tidak tertutup kemungkinan, lanjutnya, pemerintah bisa menggandeng industri untuk menekan biaya pelatihan. Peran industri ini juga sangat penting mengingat dengan semakin sedikitnya lapangan pekerjaan juga akan berimbas pada nasib perusahaan.
“Industri bisa saja mendatangkan mesin-mesin dari luar negeri tapi akan bahaya kalau orang enggak kerja, enggak punya penghasilan berarti daya beli rendah, nanti perusahaan bisa bangkrut dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi rendah karena tumpuannya masih daya beli masyarakat,” bebernya.
Ancaman nyata
Sementara itu, pengamat pemasaran Yuswohady pun mengakui dirinya juga termasuk pihak yang khawatir profesi konsultan marketing akan tergeser AI. Pasalnya, kecerdasan buatan seperti chatGPT tidak hanya mereplika jenis pekerjaan yang rutin dan berulang seperti call center dan data entry namun juga bisa melakukan pekerjaan analisis.
“Contoh saya mau buat produk, namanya apa tagline-nya apa asal pinter-pinter nanya (ChatGPT) jawabnya bisa bener jadi pekerjaan analytic pun bisa terimbas. Yang paling di depan mata yang pekerjaan berulang, tapi semakin lama yang analitik seperti pekerjaan riset pasar bisa digantikan,” jelas managing partner Inventure ini.
Namun, dia menegaskan AI tidak akan sepenuhnya menggantikan peran manusia di dunia kerja. Ke depan, yang akan terjadi adalah manusia berkolaborasi dengan kehebatan mesin dan teknologi. “Misalnya bahwa pekerjaan konsultan marketing akan hilang enggak sepenuhnya gitu juga karena ada aspek-aspek judgement, wisdom,” bebernya.
Karena itu, dia menyarankan agar pekerja bisa mengadopsi teknologi AI untuk menunjang pekerjaannya. Karena murah dan masif, lanjutnya, teknologi AI akan diadopsi secara massal. “Dia kan mempengaruhi semua pekerjaan, orang kalau mau survive harus adopsi pekerjaan dengan menggunakan AI,” tandasnya.
Cara inipun telah dilakukan M. T Fadillah dalam menjalani pekerjaannya sebagai desainer grafis. Menurutnya, meski ChatGPT bisa menghasilkan karya grafis yang indah namun tetap saja itu tidak bisa menjadi hasil akhir.
“Karena yang dihasilkan itu mentah. Maksudnya, kita mesti ngolah lagi untuk dapat yang kita butuhin,” terang karyawan swasta ini.
Misalnya, kata dia, jika ingin membuat karya infografis maka sentuhan manusia sangat dibutuhkan untuk memadukan tidak hanya gambar namun juga teks. Beda halnya dengan karya ilustrasi untuk opini yang bisa menggunakan tema umum. Sementara ilustrasi yang spesifik akan sulit digunakan menggunakan AI.
“Misalnya Jokowi suka makan tahu di sawah. Ya susah. Karena kan basis AI ini, dia nyomot data sana sini kan,” cetusnya.
Karenanya, pria yang karib disapa Taufik ini menilai teknologi AI tidak terlalu mengancam karena masih perlu sentuhan eleman lain. Pasalnya, ada banyak aplikasi maupun situs untuk AI masih beroperasi dengan elemen terpisah. “Misal ilustrasi ya ilustrasi aja. Chart ya chart aja,” tambahnya.
Dia pun justru mendapat kemudahan dengan adanya situs maupun aplikasi kecerdasan buatan. Hal ini justru bisa menunjang untuk menghasilkan karya desain yang lebih berkesan.