close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: Pixabay
icon caption
Foto: Pixabay
Bisnis
Rabu, 27 September 2023 16:13

Andre Rosiade minta pemerintah buat regulasi yang adil usai larang jual-beli di Tiktok

Pelaku usaha digital juga diprotes karena menawarkan harga yang sangat murah di social commerce.
swipe

Komisi VI DPR RI menyoroti kebijakan pemerintah yang melarang aktivitas transaksi jual-beli di akun media sosial seperti Tiktok. Pemerintah melakukannya dengan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). 

Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade mengatakan, revisi Permendag itu dikeluarkan menyusul adanya keluhan dari para pedagang konvensional yang merasa dirugikan dengan kehadiran social commerce seperti TikTok Shop. Oleh karenanya, pemerintah harus mengatur social commerce hanya diperbolehkan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa.

"Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan larangan bertransaksi di media sosial adalah perlunya keadilan antara pemilik usaha konvensional dan pemilik usaha di ranah digital," kata Andre dalam keterangan, Rabu (27/9).

Menurutnya, pemerintah dalam revisi beleid harus menciptakan regulasi yang adil bagi pelaku usaha konvensional dan digital. Mengingat, 6 sampai 7 juta pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memanfaatkan social commerce sebagai platform penjualan.

Revisi Permendag No. 50 Tahun 2020 akan merujuk pada izin social commerce yang bukan platform transaksi jual beli sehingga akan menciptakan sejumlah aturan turunan. Aturan pertama social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Kedua social commerce harus memiliki izin sebagai e-commerce.

Kemudian aturan ketiga membatasi produk impor dengan memisahkan negatif dan positif list. Lalu yang keempat perilaku barang impor dan dalam negeri harus sama. 

“Artinya jika produk makanan harus ada sertifikat halal, begitu juga dengan skincare yang memerlukan jaminan atau seizin BPOM, dan produk elektronik harus memiliki standar,” ujarnya.

Serta aturan kelima ialah social commerce tidak boleh bertindak sebagai produsen. Lalu aturan terakhir adalah transaksi impor hanya boleh satu kali dengan minimal US$100 atau setara Rp1,5 juta.

Aturan yang disusun tersebut penting mengingat dalam aktivitas perdagangan di social commerce seperti TikTok Shop, barang impor bisa langsung dibeli oleh konsumen Indonesia alias crossborder. 

Pelaku usaha digital juga diprotes karena menawarkan harga yang sangat murah di social commerce. Persaingan inilah yang dikhawatirkan mematikan UMKM dalam negeri.

Meski begitu, Andre melihat masih ada beberapa aturan yang berpotensi tidak efektif karena melawan arus perkembangan teknologi. Ia menyebut social commerce memberikan pengalaman berbelanja tersendiri bagi konsumen, dan bahkan memunculkan fenomena impulsive buying yang dapat menguntungkan pelaku usaha.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan, buah revisi adalah bentuk pelarangan media sosial dipakai untuk transaksi perdagangan. Media sosial menurutnya hanya berfungsi untuk promosi dan iklan.

"Pertama nanti isinya social commerce itu hanya boleh memfasilitasi promosi barang dan jasa, tidak boleh transaksi langsung dan bayar langsung. Nggak boleh lagi. Dia hanya boleh promosi. Dia semacam platform digital, tugasnya hanya promosikan," kata Zulhas dalam konferensi pers, Senin (25/9).

Zulhas menyebut, cara main dalam paltform tersebut harus dipisah. Jangan sampai, kata Zulhas, semua algoritma dikuasai oleh satu platform saja.

“Ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis," ujarnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan