Angel investor dan modal ventura, malaikat penyelamat startup
Nam Do San (Nam Joo Hyuk), Lee Chul San (Yoo Su Bin), dan Kim Yong San (Kim Do Wan), tiga developer usaha rintisan (startup), berusaha keras mendapatkan pendanaan dari investor untuk perusahaan mereka, Samsan Tech. Alih-alih mendapat kucuran dana segar untuk mengembangkan Samsan Tech, mereka hampir saja memberikan 'rahasia dapur' perusahaan karena berharap calon investor tertarik dengan teknologi yang mereka kembangkan.
Cuplikan drama Korea Start-Up itu menyuguhkan kiprah sejumlah anak muda membangun usaha rintisan berbasis teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Dalam cerita, Nam Do San dan kawan-kawan akhirnya berhasil lolos seleksi Sand Box dan memenangi kompetisi untuk mendapatkan pendanaan.
Sand box dalam serial itu menjadi daya pikat. Perusahaan yang digambarkan berada di tengah pulau buatan itu rutin menggelar program inkubasi yang melahirkan startup sukses. Sand box ibarat Sillicon Valley ala Korea Selatan.
Di dunia nyata, kisah perjuangan startup tak lepas dari isu pendanaan. Ide-ide brilian yang diwujudkan dalam bentuk teknologi membutuhkan modal agar produk bisa dilepas ke pasar. Di Indonesia, misalnya, ada perusahaan modal ventura yang akan menjadi investor bagi startup potensial.
Mandiri Capital Indonesia salah satunya. Anak usaha Bank Mandiri ini mencari startup khusus di bidang financial technology (fintech) untuk diberi suntikan dana. Saat ini, tercatat ada 14 startup di bawah investasi PT Mandiri Capital Indonesia (MCI) dengan nilai total investasi lebih dari Rp1 triliun.
"Kita fokus pada sektor fintech. Kedua, kita emang preferensinya di Seri A atau B," kata Direktur Utama PT MCI Eddi Danusaputro kepada Alinea.id, Kamis (3/12).
Menurutnya, 14 startup di bawah MCI sudah melalui pendanaan seri A dan seri B. Artinya, perusahaan rintisan tersebut sudah mulai berjalan meski belum meraih untung. Eddi maklum jika usaha rintisan tidak langsung memberikan keuntungan di awal-awal tahun berdiri. Bukan tidak mungkin, beberapa startup masih melancarkan strategi 'bakar uang' untuk menarik lebih banyak pengguna atau user.
"Sebenarnya startup manapun butuh waktu untuk profit. Mau bakar uang atau apa pasti butuh waktu, kalau kita melihat tahun keempat atau kelima sudah kelihatan profit-nya," paparnya.
Saat ini, beberapa startup di bawah naungan MCI sudah mendulang untung. Eddi menyebut pihaknya masih terbuka untuk menanamkan modal di perusahaan-perusahaan rintisan lain. "Sekarang kita selalu menyisihkan dana untuk mencari yang baru," tambahnya.
Mandiri Capital telah memimpin pendanaan Seri A+ kepada Startup Point of Sale (POS) berbasis omni channel iSeller pada September lalu. Selain itu, Mandiri Capital juga telah berinvestasi ke Mekari, Cashlez, Amartha, Yokke, Privyid, Pten, DAM, Moka, Koinworks, Investree, LinkAja, Crowde, dan Halofina.
Mandiri Capital juga memegang saham Aplikasi Karya Anak Bangsa, Gojek. Pasalnya, salah satu startup di bawah naungan MCI diakuisisi perusahaan ride-hailing tersebut. "Kita beli Moka dan Moka dibeli Gojek, bagian dari transaksi itu ada komponen dapat saham Gojek sedikit," kata Eddi.
Tangan angel investor
Di samping menggaet investor dari perusahaan besar seperti modal ventura, startup juga berpeluang mendapat pendanaan dari kantong pribadi. Angel investor atau investor individu yang menaruh dananya untuk perkembangan startup. Bak malaikat, investor individu ini bahkan bisa membantu mewujudkan usaha rintisan yang masih dalam tahap awal atau pre-seed/seed funding.
Di Indonesia, telah lahir Angel Investment Network Indonesia (ANGIN) yang memberikan pendanaan wirausaha bagi startup maupun Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Organisasi nirlaba ini merupakan jaringan angel investment resmi pertama yang ada di Indonesia. Organisasi ini berisikan kumpulan perempuan-perempuan pengusaha sukses Indonesia, seperti Shinta Kamdani, Nellie Akili, Tience Sumartini, Noni Purnomo, Lanny Angkosubroto, Gail Aluwi, dan lain-lain.
Co Founder ANGIN Shinta Kamdani menyebutkan, ANGIN pertama kali dibentuk melalui skema pendanaan women fund pertama (she-to-she economy). Pihaknya sukses menebarkan sekitar 15 kesepakatan Gender Lens Investing (GLI) untuk early stage (tahap awal) startup. ANGIN juga memberikan pelatihan bagi 8 investment professional mengenai GLI.
"ANGIN tidak hanya membangun ekosistem Gender Lens Investing, tapi lebih besar di ranah she economy dan digital economy. Jadi memberikan pelatihan, koneksi dan juga menjembatani investasi antara startup dan investor," ujar Shinta kepada Alinea.id melalui pesan WhatsApp, Minggu (6/12).
Pada tahun 2018, ANGIN sukses mendapatkan pendanaan dari salah satu venture capital global 500 startups dan telah sukses menyebarkan lebih dari 35 investasi. Hingga kini, tambah Shinta, lebih dari 40 investasi telah sukses dan ada 5500 kesepakatan yang telah di-screening atau dibantu oleh ANGIN.
"ANGIN juga telah sukses membangun ekosistem terbesar dari jumlah network investor dan juga entrepreneur yang tergabung dalam platform ANGIN," ujarnya.
Selain itu, ANGIN telah membantu pendanaan di luar jejaring investor ANGIN. Terdapat lebih dari 40 investasi, 4 exit investasi dan lebih dari 50 startup yang sudah terlibat. "ANGIN juga telah mengadakan lebih dari 30 pitching session yang telah sukses mempertemukan secara langsung dan eksklusif antara investor dan startup," tambahnya.
Sejak berdiri tahun 2015, ANGIN setidaknya telah menyalurkan investasi hingga US$22 juta. Untuk mendapatkan pendanaan ini, Shinta memaparkan kriteria yang ditetapkan ANGIN tak berbeda jauh dengan modal ventura lainnya. Model bisnis, inovasi, serta pengalaman founder sebelum membangun perusahaan menjadi kriteria penting. Begitu pula dengan potensi pasar dan bagaimana dampak startup tersebut bagi kondisi sosial.
Pendaftaran untuk meraih pendanaan juga cukup sederhana, yakni melalui website www.angin.id. "Biasanya startup yang lolos pendanaan memiliki karakteristik, pertama, potensi pertumbuhan tinggi yang memiliki/akan memiliki business model yang terukur, jelas dan scalable (high growth business model). Kedua, memiliki tim dan founder yang kompeten, cakap dan memiliki kemampuan yang terdistribusi secara jelas," paparnya.
Artinya, ANGIN tidak memilih startup yang hanya berat ke sisi teknologi atau sebaliknya ke sisi bisnis semata. Shinta menegaskan ANGIN selalu terbuka bagi startup yang ingin mendapatkan pendanaan.
Caranya, melalui proses screening yang dilakukan dengan mengisi beberapa kuisioner. Bila lolos, tahap selanjutnya adalah one on one meeting dengan pihak ANGIN, untuk melihat lebih jauh mengenai aplikasi funding startup tersebut. "Ini juga melihat apakah ada investor yang potensial untuk startup tersebut," ujarnya.
Ketiga, lanjut Shinta, startup tersebut akan diundang ANGIN dalam monthly pitching event atau bahkan diperkenalkan secara one on one dengan investor potensial. Bisa juga startup yang lolos diundang dalam event untuk diperkenalkan dengan calon investor.
"Apabila lanjut di tahap berikutnya, akan dilakukan due dilligence dan pada akhirnya investment execution," jelasnya.
Seperti halnya Sand box dalam drama Korea Start-Up, ANGIN juga menggelar acara pitching sebagai ajang bagi startup mengenalkan bisnisnya. Namun, bentuk picthing ini tak melulu dalam bentuk kompetisi. Bisa juga berupa business macthing yang menjodohkan startup dengan calon investor.
Adapun soal umur investasi, Shinta menyebut, rata-rata berlangsung selama 4 sampai 8 tahun. Di rentang masa tersebut itu pula, investor mengharapkan ada keuntungan langsung dari dana yang ditanamkan.
"Melalui support seperti synergistic value, membuka peluang untuk investasi tambahan masuk dan juga memberikan advice business dan investasi. Sehingga diharapkan pada rentang waktu tersebut startup bisa berkembang dan cash flow positive," tutupnya.
Dominasi fintech
Di tengah pandemi Covid-19, sektor fintech masih menjadi favorit perusahaan modal ventura. Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) Jefri R. Sirait menyatakan meski pandemi membuat perekonomian lesu dan berimbas pada loyonya kinerja startup, modal ventura optimistis masih ada sektor-sektor potensial yang membutuhkan pendanaan.
"Hadirnya perusahaan modal ventura lokal berperan krusial untuk mendukung optimisme bisnis yang lebih baik. Terbukti dengan basis regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang makin sehat buat iklim bisnis kita, kegiatan penyertaan saham, obligasi konversi, maupun pembiayaan kita masih bertahan," jelasnya, Senin (2/11/2020).
Dalam diskusi virtual Amvesindo bertajuk 'Mengupas Dinamika dan Tren Pendanaan Startup 2020-2021' itu, Jefri menjelaskan, startup fintech selalu tumbuh meski di tengah pagebluk. Selain fintech, ada pula sektor logistik, kesehatan, serta e-commerce.
Amvesindo mencatat, pada Januari hingga Juli 2020, aktivitas pendanaan modal ventura lokal tetap terjaga melalui penyaluran kepada 52 startup yang didominasi startup pada sektor-sektor tersebut.
Wakil Ketua I Amvesindo William Gozali menambahkan bukan hanya untuk startup, micro-financing untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) juga mengalami tren positif.
"Ada setidaknya 16 perusahaan modal ventura yang bermain di sektor ini. Perusahaan modal ventura memiliki peran cukup besar dengan outstanding mencapai Rp5,4 triliun kepada 2 juta nasabah," ujarnya.
Untuk pendanaan kepada startup sendiri, hingga kuartal-III 2020 total pendanaan modal ventura telah mencapai US$1,9 miliar dari 52 transaksi, dan diproyeksi mencapai US$2 miliar hingga akhir tahun.
Angka ini tercatat meningkat dari total pendanaan pada 2018 sebesar US$1,46 dengan 71 transaksi. Namun, capaian ini sedikit turun dibandingkan tahun 2019 yang mencapai US$2,95 miliar dengan 113 transaksi.
Sektor fintech masih menduduki jumlah transaksi terbanyak, yakni kepada 8 startup, Edutech dan Software as a service (SaaS) dengan masing-masing berjumlah 6 transaksi, disusul new retail 5 transaksi, serta logistics dan e-commerce yang masing-masing 4 transaksi.
Adapun, dari sisi jumlah transaksi kepada startup, Kopi Kenangan tercatat memperoleh pendanaan baru terbesar, yakni pada Mei 2020 sebesar US$109 juta. Disusul Kargo Technologies US$31 juta, GudangAda US$25.4 juta, Investree US$23.5 juta, KoinWorks US$20 juta, dan Shipper US$20 juta.
Peneliti Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, dalam 3 tahun terakhir semua startup, terutama fintech, berlomba-lomba mendapatkan pendanaan seri C. Pada tahap ini perusahaan biasanya sudah mencapai tahap mature atau dewasa dengan kisaran pendanaan yang diberikan sebesar US$25 juta sampai US$100 juta.
Menurutnya, khusus pendanaan bagi fintech yang terus tumbuh meski di tengah pandemi ini akan sulit jika mengandalkan angel investor. "Fintech ke depan cenderung akan cari investor besar, venture capital," kata Huda kepada Alinea.id, Jumat (4/12).
Dia mengakui peran angel investor dalam menyuntik pendanaan bagi startup cukup signifikan. Namun sebagaimana pemberi utang, kata dia, investor tentunya akan memberikan pendanaan bagi perusahaan yang minim resiko (low risk). "Angel investor lebih aman bermain di tipe startup yang sudah berizin," tambahnya.
Huda menilai ke depannya, sektor startup yang cukup potensial adalah sektor kesehatan dan fintech equity crowd funding. Pasalnya, dia menilai valuasi startup yang membuat platform ride hailing seperti Gojek dan Grab sudah hampir mencapai titik puncak.
"Saya lihat sebenarnya berhubungan dengan kesehatan atau health tech. Dia akan mulai menarik investor karena di tengah pandemi subscribernya naik pesat dan mitra dokter naik pesat. Kedua masih di fintech tapi dia bukan P2P lending (peer to peer lending) yang potensial equity crowd funding, akan ke arah situ," jelasnya.
Saat ini sudah ada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 34/POJK.05/2015 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Modal Ventura. Ke depan, OJK berencana merevisi aturan tersebut agar pengaturan soal modal ventura semakin rapi.