Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Harris Turino, mengapresiasi langkah Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tekanan global, terutama usai libur panjang dan imbas dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Ya, kita harus jujur, kita apresiasi pergerakan oleh BI yang mampu menjaga pergerakan nilai rupiah, sehingga tetap ada pada range yang masuk akal. Yaitu saat ini di angka Rp16.700, " ujar Harris, dikutip dpr.go.id, Senin (14/4).
Menurutnya, BI telah bergerak lebih awal sebelum pasar domestik kembali dibuka. Ketika nilai tukar rupiah sempat menyentuh angka Rp17.380 di pasar internasional, BI melakukan intervensi melalui instrumen Non-Delivery Forward (NDF) di pasar luar negeri seperti Hong Kong, Singapura, dan New York. Dengan langkah tersebut, nilai tukar rupiah menguat ke level Rp16.900 pada hari berikutnya.
Ketika pasar Jakarta kembali buka, BI kembali masuk lewat pasar spot dengan volume besar. Hasilnya, nilai tukar rupiah terjaga di bawah level psikologis Rp17.000, tepatnya di angka Rp16.700. Stabilitas ini memberikan rasa aman bagi pelaku pasar modal dan saham.
"Dan ketika pasar Jakarta buka dengan volume cukup besar, BI juga masuk di pasar spot sehingga mata uang rupiah terjaga di level di bawah Rp17.000. Ini yang satu angka psikologis kan. Nah ini juga memberikan kepercayaan kepada para pelaku di pasar modal, di saham," katanya.
Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat anjlok hingga minus 9,19% pada menit pertama pembukaan perdagangan, tetapi kondisi tersebut membaik dalam 30 menit berikutnya dan ditutup dengan koreksi yang lebih terkendali, yakni sekitar 7%. Harris menyebutkan langkah BI memberi kepercayaan kepada investor kalau dampak kebijakan tarif AS terhadap Indonesia tidak akan terlalu besar.
Harris juga menekankan struktur ekonomi Indonesia yang relatif tertutup memberikan keuntungan tersendiri. Dengan volume perdagangan internasional yang hanya sekitar 39% hingga 41% terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia tidak terlalu rentan terhadap guncangan eksternal.
Berbeda dengan beberapa negara lain yang memiliki volume perdagangan terhadap PDB yang jauh lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yaitu Singapura sebesar 326% atau Vietnam sebesar 216%
Lebih lanjut, Harris mengingatkan setelah kestabilan tercapai, BI tidak perlu terus-terusan melakukan intervensi agar nilai tukar tidak menjadi terlalu kuat.
"Ya untuk perang dagang tentu Indonesia sudah imun ya. Nah apa sih peranan BI? Ya tentu menjaga kestabilan mata uang, salah satunya lewat intervensi. Tapi rupiah jangan terlalu kuat karena dampaknya tidak bagus untuk ekspor,” tutur Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.