Anggota DPR RI Komisi V, Surya Jaya Purnama menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara (IKN), merupakan wujud “hopeless” pemerintah dalam mendatangkan modal pelaku usaha. Bahkan dinilai berpotensi menempatkan negara dalam posisi rentan ditekan pelaku usaha.
Dalam PP tersebut, memuat Hak Atas Tanah (HAT) yang dialokasikan Otorita IKN kepada pelaku usaha berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan hak pakai. Surya menyoroti secara khusus pada Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 yang di dalamnya memuat mekanisme perpanjangan dan pembaruan HGU, HGB, dan hak pakai yang dapat dilakukan saat HAT tersebut baru berusia lima tahun.
“Ini tentu begitu mudah dan cepat,” kata Surya dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (11/3).
Pada Pasal 18, HGU di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) IKN diberikan dengan jangka waktu 95 tahun untuk siklus pertama. HGU ini kemudian dapat diperpanjang pada siklus kedua dengan jangka waktu yang sama, yaitu 95 tahun. Dengan demikian, HGU di IKN dapat digunakan maksimal hingga 190 tahun. Sedangkan HGB (Pasal 19) dan hak pakai (Pasal 20), keduanya maksimal 160 tahun. Pemberian siklus kedua dalam PP ini juga dapat diperjanjikan sejak awal, walaupun masih ada tahapan evaluasi pada saat akan diberikan siklus kedua.
“Kami menilai berbagai ‘super kemudahan’ yang diberikan melalui PP ini semakin memperlihatkan bahwa proyek IKN tidak laku dan Pemerintah sangat 'hopeless' dalam mendatangkan modal pelaku usaha,” tutur Surya.
Menurut dia, kemudahan-kemudahan perizinan tersebut dapat dilihat dari berbagai ketentuan yang seolah mengobral HAT dalam berbagai skema, baik berupa HGU, HGB, maupun hak pakai.
Selain itu, Surya berpendapat, adanya ketentuan terkait perjanjian antara Otorita IKN dengan pelaku usaha dapat mempengaruhi pemberian perpanjangan, pembaruan pada siklus pertama dan bahkan pemberian siklus kedua kepada pemodal.
“Hal ini berpotensi menempatkan negara dalam posisi yang rentan ditekan oleh pelaku usaha akibat pemerintah sedang BU (butuh uang) yang luar biasa untuk pengembangan IKN,” kata Surya menegaskan.
Lebih lanjut, Surya berpendapat dengan terbitnya PP 12/2023, pemerintah seolah saat ini tidak peduli terhadap generasi yang akan datang, sebab mekanisme pemberian siklus kedua sebagaimana yang terdapat dalam PP tersebut berpotensi mewariskan konflik pada masa yang akan datang.
Hal ini disebabkan perjanjian pemberian siklus kedua dilakukan oleh pemerintah yang ada saat ini, sedangkan evaluasinya dilakukan oleh pemerintah yang akan datang. Sedangkan situasi dalam kurun waktu 80 hingga 100 tahun yang akan datang, tentunya sangat jauh berbeda dari situasi saat ini.
“Oleh sebab itu kami menolak dengan tegas PP No. 12 Tahun 2023 ini karena selain menimbulkan kesenjangan juga berpotensi mewariskan berbagai konflik pada masa yang akan datang, salah satunya konflik agraria. Kita mendorong agar PP ini dibahas lebih lanjut dalam Komisi terkait di DPR sesuai dengan fungsi pengawasan oleh DPR, jangan begitu saja diterima,” ujarnya.
Surya juga meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemberantasan Korupsi (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), dam berbagai pihak untuk mengawasi proses pembangunan IKN secara ketat, terutama pada setiap perjanjian yang dibuat oleh Otorita IKN.
“Ini perlu dilakukan agar jangan sampai ada perjanjian yang dapat merugikan negara baik pada masa sekarang maupun masa mendatang,” ucap Surya.