Rencana kebijakan pemerintah yang akan menghapus Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite dinilai bisa saja diterapkan. Namun, diusulkan, sebaiknya Pertalite tetap dipertahankan dengan kebijakan penurunan harga.
"Kalau hanya menghapus Premium sama saja, itu melepas tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan bahan bakar minyak yang terjangkau untuk rakyat dengan dalih lingkungan. Harusnya keinginan pemerintah memperbaiki lingkungan tidak serta merta menghapus kewajiban menyediakan BBM murah bagi rakyat," ujar anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto dalam pesan singkatnya yang diterima Wartawan, Rabu (29/12/2021)
Mulyanto menilai narasi 'demi lingkungan' itu menyesatkan dan berpotensi masuk kategori kebohongan publik. Karena faktanya hingga kini masih banyak masyarakat yang ingin menggunakan bensin Premium.
"Kalaupun penggunaan BBM berkurang, hal itu disebabkan karena pihak Pertamina yang mengurangi jumlah pasokan BBM Premium di beberapa wilayah. Bukan karena peminatnya yang berkurang," jelas dia.
Mulyanto juga meminta pemerintah mengubah cara pandang penyediaan BBM bagi rakyat. BBM jangan sekedar dipandang sebagai komoditas komersil yang dijual dengan harga pasar. Tetapi sebenarnya, harus melihat kondisi perekonomian masyarakat saat ini di masyarakat.
"Silakan saja pemerintah menggunakan BBM jenis apapun yang lebih baik bagi lingkungan, asalkan harganya terjangkau bagi rakyat,"tegasnya.
Dia berpandangan bukan menolak akan kebijakan pemerintah namun memikirkan kondisi ekonomi masih lemah akibat pandemi, mereka lebih memilih BBM murah yang terjangkau.
“Ya sejatinya masyarakat bukannya tidak ingin menggunakan BBM bersih ramah lingkungan. Namun kita tetap harus memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat,” sambung dia.
“Oleh karena itu saya memang meminta pemerintah fokus memperbaiki sektor hulu dan membangun kilang-kilang minyak. Sehingga impor BBM dapat dikurangi dan mampu menyediakan BBM terjangkau untuk kesejahteraan rakyat," ungkapnya.
Saat ini daya beli masyarakat sedang lemah karena terdampak pandemi Covid-19. Tahun 2022 belum tentu terjadi pemulihan daya beli masyarakat tersebut.
“Kalau mau jujur silakan buka data jumlah distribusi BBM ke berbagai wilayah. Kita lihat sama-sama apakah benar penurunan konsumsi BBM premium itu karena turunnya minat masyarakat," sambung Mulyanto.
Dia mengharapkan pihak pemerintah membuat kebijakan beralasan ini merupakan langkah tepat untuk kelangsungan hidup yang akan datang namun juga harus lihat tingkat kemampuan masyarakat.
“Jadi jangan sekedar beralasan untuk memenuhi standar global mengurangi emisi karbon, tanpa memperhatikan kemampuan masyarakat. Pemerintah harusnya dapat menyelaraskan antara kepentingan global dengan kepentingan masyarakat. Jangan sampai untuk menjaga agenda global masyarakat yang dikorbankan," kata dia.
Mulyanto mengingatkan, Pemerintah untuk mengkaji ulang rencana penghapusan tersebut. Dia minta Pemerintah memikirkan langkah solusi alternatif BBM murah bagi masyarakat bila tetap ingin menghapus Premium sehingga upaya menjaga lingkungan hidup tercapai, namun beban hidup masyarakat tidak bertambah.
“Pemerintah harus memiliki rencana buffering dan mitigasinya. Kalau Premium dihapus, apa alternatif BBM murah untuk masyarakat. Kemudian apakah betul-betul harus dikaji terkait kondisi ekonomi masyarakat di tengah pandemi ini. Apakah, sudah tepat waktunya menghapus Premium tersebut?” tandas Mulyanto.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal menjelaskan dalam rangka kebijakan pemerintah yang akan menghapus aturan bahan bakar Pertalite dan premium akan berdampak pada Inflansi.
“ Terutama yang Pertalite saya rasa akan berdampak bukan hanya pada kelompok miskin tapi juga kelompok menengah secara luas, kalau Premium sih mungkin terbatas di sebagain daerah saja ya, sudah tidak banyak, tapi penghapusan Pertalite ini pengaruhnya besar. Akan sangat berdampak pada inflasi," kata Faisal saat di hubungi Alinea.id, pada, Kamis (23/12)
Dia menambahkan dengan penghapusan ini akan menjadi kontradiktif di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.
“Dengan adanya akan penghapusan bahan bakar tersebut inflasi akan meningkat karena dorongan kebijakan pemerintah (administered prices) atau cost push inflation, bukan inflasi yang disebabkan dorongan permintaan atau kenaikan daya beli masyarakat, ini tentu tidak baik, dan kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk memulihkan ekonomi. Ya, apalagi terhadap daya beli masyarakat golongan bawah yang paling terdampak buruk selama pandemi,” kata Faisal.
Padahal kata dia pada saat yang sama, program-program bantuan sosial dan subsidi yang menyasar kepada masyarakat bawah juga berkurang alokasinya di 2022 (walaupun masih ada).
“Jadi begini kalau dari transisi energi harus dicari strategi jalan keluar yang mendukung dan tidak membuat gejolak bagi ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Jadi tidak bisa langsung ujug-ujug diterapkan. Kemudian kalau memang untuk transisi energi biar ramah lingkungan, nah ini subsidi yang diberikan untuk Pertalite dan Premium gambaran roadmap-nya seperti apa ke depannya, harus jelas arahnya," tegas Faisal.
Penghapusan akan berdampak bukan secara langsung saja tapi juga Inflasi di sektor makanan dan minuman.
“Dari sisi pengeluaran pasti naik, dari listrik pasti naik, dan bahan pokok lainnya. Belum lagi tambahan pajak. Jadi terlihat ada kenaikan dari sisi pengeluaran dan daya beli masyarakat yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan," tandasnya.