Indonesia membukukan inflasi tahunan terendah dalam sejarahnya sebesar 1,57% pada Desember 2024, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (2/1).
"Tingkat inflasi tahunan sebesar 1,57% pada Desember 2024 merupakan yang terendah yang pernah tercatat oleh BPS," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam sebuah konferensi pers.
Dia menyebutkan lembaga tersebut telah menghitung inflasi sejak 1958, awalnya hanya untuk Jakarta dan kini mencakup seluruh 38 provinsi di negara kepulauan ini.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut angka inflasi tersebut merupakan anomali. Sebab, pada Desember terdapat momentum natal dan tahun baru yang biasanya mengerek transaksi masyarakat dan laju inflasi.
"Berarti ada penurunan sisi permintaan yang membuat harga barang dan jasa tidak alami kenaikan berlebihan. Misalnya inflasi makanan, minuman, dan tembakau hanya 1,9% yoy (year on year) kemudian transportasi minus 0,3% yoy," tuturnya kepada Alinea.id.
Selain makanan, minuman, dan tembakau, BPS mencatat kelompok lainnya mengalami kenaikan indeks, yakni pakaian dan alas kaki sebesar 1,16%; kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga sebesar 0,59%; perlengkapan, peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 1,04%; kelompok kesehatan sebesar 1,93%; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya sebesar 1,17%; kelompok pendidikan sebesar 1,94%; kelompok penyediaan makanan dan minuman atau restoran sebesar 2,48%; dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya sebesar 7,02%.
Sementara kelompok pengeluaran yang mengalami penurunan indeks atau deflasi, yaitu: kelompok transportasi yang minus 0,30% serta kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan minus 0,27%.
"Ekonomi sedang tidak baik baik saja kalau transportasi pada Desember justru mengalami deflasi. Padahal penurunan harga tiket maskapai juga tidak banyak andilnya ke seluruh moda transportasi," ujar Bhima.
Rendahnya angka inflasi diperkirakan disebabkan oleh masyarakat yang menahan belanja di akhir tahun. Sebagian bahkan khawatir kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi 2025 lebih menekan daya beli. Selain itu, Bhima bilang, ada juga yang menyimpan uang untuk persiapan mudik lebaran karena hanya berselang beberapa bulan lagi.
Pelemahan konsumsi rumah tangga berlanjut
Melihat rendahnya inflasi Desember, Bhima mengatakan kondisi pelemahan konsumsi rumah tangga berisiko berlanjut di 2025.
Langkah pemerintah yang membatalkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% untuk barang umum dan mengguyur paket kebijakan dinilai belum mampu mengungkit daya beli.
Asal tahu saja, pemerintah menyiapkan Paket Kebijakan Ekonomi untuk Kesejahteraan dengan total nilai Rp445,5 triliun atau 1,83% dari produk domestik bruto (PDB) guna meredam tekanan inflasi akibat kenaikan PPN dan mendukung daya beli masyarakat yang rentan. Paket ini tetap diberlakukan meski pemerintah membatalkan kenaikan PPN 12%. Pengumuman pembatalan kenaikan PPN 12% dilakukan di penghujung tahun 2024.
Rincian paket ini mencakup 15 jenis insentif fiskal dan nonfiskal, termasuk pembebasan PPN untuk bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, dan gula konsumsi.
Lalu, tarif PPN 11% untuk barang kebutuhan pokok strategis seperti tepung terigu dan minyak goreng curah; bantuan pangan berupa 10 kilogram beras per bulan untuk 16 juta masyarakat di desil 1 dan 2; diskon tarif listrik sebesar 50% selama Januari hingga Februari 2025; dan insentif untuk sektor usaha, termasuk pajak penghasilan atau PPh final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) 0,5%.
Selain itu, pemerintah juga membebaskan PPh Pasal 21 bagi pekerja dengan gaji Rp4,8 juta hingga Rp10 juta per bulan, khusus untuk pekerja di sektor industri padat karya. Juga, mengoptimalkan jaminan kehilangan pekerjaan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Salah satu perubahan yang diterapkan adalah memperpanjang masa klaim hingga enam bulan dengan manfaat sebesar 60% dari upah bulanan. Tujuannya, memberikan perlindungan bagi pekerja yang menghadapi risiko kehilangan pekerjaan, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang.
Menurut Bhima, masyarakat butuh stimulus yang lebih panjang dan langsung ke daya beli. "Misalnya menurunkan tarif PPN jadi 8% seperti Vietnam," tuturnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Airlangga Hartarto mengatakan inflasi masih tetap terkendali meskipun ada tekanan dari harga komoditas global dan faktor domestik.
"Pemerintah akan terus memastikan pasokan pangan yang cukup, menjaga stabilitas harga, dan mendukung pemulihan sektor-sektor kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," katanya dalam sebuah keterangan.