close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Jasa penukaran uang receh kala pandemi tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Jasa penukaran uang receh kala pandemi tak seperti tahun-tahun sebelumnya. Alinea.id/Oky Diaz.
Bisnis
Sabtu, 23 Mei 2020 09:08

Anomali penukaran uang receh di kala pandemi

Bisa menunjang daya beli masyarakat, tapi tidak menyelamatkan ekonomi.
swipe

Budaya anjangsana ke rumah saudara, kerabat maupun tetangga dekat merupakan salah satu momen yang paling ditunggu setiap Hari Raya Idulfitri. Budaya ini juga kerap didampingi dengan tradisi ‘salam tempel’ oleh sebagian besar masyarakat di Tanah Air.

Anak-anak sudah pasti menjadi yang paling bergembira dengan tradisi ini. Mereka biasanya akan mendapatkan amplop atau juga uang receh dari para sesepuh atau juga orang yang dituakan di kampung masing-masing.

Tahun ini, di tengah pandemi Covid-19, tradisi salam tempel masih akan tetap ada, tapi mungkin tidak lagi seramai dahulu. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menahan laju pertumbuhan positif coronavirus sedikit-banyak telah memengaruhi tradisi setahun sekali itu. 

Indikasinya terlihat dari semakin menurunnya angka penukaran uang receh dari sejumlah perbankan dan penyedia jasa uang receh di tepi jalan. Ini dirasakan Ati (40 tahun), seorang penyedia jasa penukaran uang receh di Kota Tua, Jakarta Pusat.

Dia mengaku jumlah pelanggan yang datang ke tempatnya untuk menukarkan uang tahun ini menurun drastis dibandingkan tahun lalu. Jika tahun lalu jumlah penukaran uang dalam sehari bisa mencapai Rp20 juta, tahun ini ia hanya bisa membukukan penukaran uang Rp5 juta per hari. Angkanya menurun drastis 75% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Tahun lalu, kita sehari bisa dapat (untung) Rp1 juta, sekarang Rp200 ribu saja susah. Ini dari pagi baru laku Rp2 juta,” kata warga Taman Sari, Jakarta Barat itu kepada Alinea.id, (19/5).

Untuk setiap Rp1 juta, Ati mengambil keuntungan sebesar 10% dari nilai aslinya. Artinya, untuk harga Rp1 juta, ia menjualnya Rp1,1 juta. Nilai tersebut kemudian dibagi untuk pemilik modal sebesar 5%, sisanya untuk keuntungan Ati seorang.

Ia menduga bahwa kebijakan pemerintah yang memperbolehkan perusahaan menunda pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) kepada karyawan merupakan salah satu penyebab mengapa penghasilannya kini menurun.

Pernyataan Ati itu merujuk pada Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2020 di Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Beleid ini intinya, memperbolehkan perusahaan untuk menunda pembayaran THR karyawan hingga akhir 2020.

“Keuntungan kita-kita ini ‘kan biasanya dari THR orang-orang, kalau THR-nya enggak ada, ya kita boncos. Orang juga pada susah sekarang ‘kan,” kesah wanita berkulit sawo matang itu.

Ati bukan penyedia jasa penukaran uang receh musiman seperti yang lainnya. Ia setiap hari memang mangkal di Kota Tua untuk menjajakan uang receh. Tidak peduli Ramadan atau hari-hari biasa.

Di sana, ia dikenal sebagai koordinator penukaran uang receh oleh teman-teman lainya. Ia membawahi 16 orang penyedia jasa uang receh musiman di Kota Tua yang juga turut mencari peruntungan ketika Ramadan tiba.

Uang pecahan kecil (UPK) yang dijajakan Ati dan rekan-rekannya atau lazim disebut inang-inang ini bervariasi, mulai dari Rp2.000, Rp5.000, Rp10.000, Rp20.000, hingga Rp50.000.

“Karena saya ‘kan yang kenal sama bosnya. Jadi mereka itu yang lain ikut-ikutan saya. Kalau hari-hari biasa mereka dagang, kalau saya ‘kan memang dari dulu ya begini (menjajakan uang receh),” ungkap ia.

Penjual jasa penukaran uang menunggu konsumen di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Minggu (17/5/2020). Menjelang lebaran, sebagian warga menggunakan jasa penukaran uang di pinggir jalan tersebut guna mendapatkan uang kertas baru pecahan Rp1.000 hingga Rp20.000, dengan biaya jasa sebesar Rp5000.  Foto Antara/Reno Esnir/aww.

Beda kebijakan perbankan

Lain lagi cerita perbankan. Beberapa perbankan justru memilih kebijakan yang berbeda menyikapi tren penukaran uang ini. Ada yang mulai mengefisienkan persediaan uang tunai, ada pula yang malah menambahnya.

PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. mengambil kebijakan untuk mengefisiensikan persediaan uang tunai. Corporate Secretary Bank Mandiri Rully Setiawan menyebut, tahun ini pihaknya hanya menyiapkan dana tunai Rp19,2 triliun, berlaku untuk periode 4-25 Mei 2020. 

Jumlah tersebut turun 24% dibandingkan persediaan uang tunai tahun sebelumnya, yakni Rp25 triliun, untuk periode yang sama atau dua pekan jelang Hari Raya Idul Fitri.

“Sebagian besar akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pengisian uang tunai di seluruh ATM (Anjungan Tunai Mandiri) Bank Mandiri yang mencapai sekitar Rp1,7 triliun per hari pada periode tersebut,” tulis Rully melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Selasa (19/5).

Harapannya, sambung ia, nasabah tidak perlu lagi datang ke kantor cabang Bank Mandiri untuk menukarkan uang, melainkan cukup datang ke ATM Bank Mandiri terdekat. Hal ini dilakukan guna mendukung kebijakan aktivitas pembatasan sosial untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.

Selain itu, efisiensi persediaan uang tunai juga dilakukan Bank Mandiri lantaran tren penukaran uang receh tahun ini tidak lagi semasif tahun sebelumnya. Adanya larangan mudik dan pengetatan aktivitis sosial disinyalir sebagai salah satu penyebabnya.

“BI (Bank Indonesia) pun tidak ada program penukaran uang receh yang digalakkan di beberapa tempat dengan perbankan,” kata ia.

Berbeda dengan Bank Mandiri, PT Bank BNI Syariah (BNIS) justru menambah persediaan uangnya. Selama pandemi, dengan tetap memperhatikan protokol Covid-19, BNI Syariah akan memaksimalkan 293 outlet yang beroperasi untuk penukaran uang.

Corporate Secretary BNIS, Bambang Sutrisno mengatakan, pihaknya telah menyiapkan uang tunai Rp2,1 triliun untuk menyambut lebaran 2020. Jumlah itu meningkat 20% dari persediaan uang tunai tahun lalu, yaitu Rp1,7 triliun. 

Uang tunai tersebut akan dialokasikan untuk kebutuhan 293 gerai BNI Syariah yang tersebar di seluruh Indonesia. Seluruh gerai ini beroperasi hingga 20 Mei 2020, dan akan kembali beroperasi pada 26 Mei 2020.

Selama pandemi para nasabah diimbau agar tetap memerhatikan protokol kesehatan saat melakukan penukaran uang ke cabang BNIS.

“Protokol dimaksud antara lain penggunaan masker, pemindaian suhu tubuh, dan penerapan physical distancing. Hal ini sesuai arahan dari Bank Indonesia agar bank tidak menyediakan penukaran uang di tempat umum atau BNI Layanan Gerak (BLG) yang dapat menyebabkan kerumunan massa,” kata Bambang kepada Alinea.id, (20/5).

Sejak 27 April – 15 Mei 2020, BNIS telah mencatatkan total penukaran uang Rp334,5 miliar. Jumlah ini masih jauh di bawah total uang tunai yang disediakan BNIS untuk penukaran uang pada 2020. Sementara batas waktu penukaran uang di gerai BNIS akan habis pada 29 Mei 2020 mendatang.

Jumlah outflow menurun

Pandemi Covid-19 rupanya tidak begitu memengaruhi tren penukaran uang di Bank Indonesia (BI). Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko menyatakan, tren penukaran uang pada Ramadan 2020 ini meningkat tipis dibandingkan tahun sebelumnya.

Hingga 15 Mei 2020, penukaran uang receh di BI sudah mencapai Rp3,74 triliun, bertambah dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp3,64 triliun. Tren itu dibarengi dengan meningkatnya pangsa UPK terhadap uang kartal yang beredar (UYD) sebesar 32%.

 

Itu pula yang menjadi alasan BI menambah lokasi penukaran uang yang tahun lalu hanya 2.900 titik menjadi 3.742 titik tahun ini. Titik penukaran ini tersebar di seluruh jaringan kantor perbankan yang ada di Indonesia. 

“Kebijakan ini dilakukan dengan memperhatikan kebijakan pemerintah, yaitu PSBB,” terang Onny melalui pesan singkat, (19/5).

Namun begitu, BI tetap menerapkan efisiensi untuk persediaan uang tunai selama Ramadan tahun ini. Onny menuturkan, khusus tahun ini BI hanya menyiapkan uang tunai Rp157,9 triliun. Angka ini turun sekitar 23% dengan persediaan uang tunai tahun lalu, yakni Rp217,1 triliun.

Langkah ini diambil BI semata-mata karena tren peningkatan jumlah penukaran uang tahun ini, rupanya tidak didampingi dengan meningkatnya kebutuhan uang (outflow) di masyarakat. Dalam kata lain, dana triliun yang disiapkan BI untuk kebutuhan Ramadan tahun ini malah lebih banyak diserap perbankan dibandingkan masyarakat. 

“Tren kebutuhan uang selama 5 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan tercermin dari jumlah outflow yang terus naik. Untuk penukaran uang selama 5 tahun terakhir rata-rata sebesar Rp3,21 triliun. Khusus untuk tahun ini jumlah outflow menurun dibandingkan tahun sebelumnya,” paparnya.

Pertanyaannya sekarang, sebetulnya apa dampak ekonomi tren penukaran uang kala Ramadan? Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, dalam kondisi normal, tren penukaran uang mampu mempercepat perputaran uang di Tanah Air.

Dampaknya, setiap Ramadan datang maka pertumbuhan ekonomi akan melesat tinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Indikasi ini terlihat dari bertambahnya pendapatan sebagian besar usaha retail di kala Ramadan yang bisa mencapai 35% dibanding bulan lainnya.

“Kalau kita lihat 1/3 atau 30-35% omzet retail itu didapat pada Hari Raya Idulfitri. Bayangkan itu, satu bulan sendiri di antara 12 bulan,” tutur Enny kepada Alinea.id di Jakarta, (20/5).

 

Akan tetapi dengan kondisi pandemi saat ini, berkah seperti itu tidak bisa lagi didapatkan para pedagang retail. Akhirnya pula akan berdampak pada kurva pertumbuhan ekonomi negara.

Walau demikian, Enny meyakini tren penukaran uang saat Ramadan tahun ini masih bisa memberikan manfaat bagi negara. Paling tidak, kata ia, bisa menahan laju pelemahan daya beli masyarakat yang belakangan anjlok lantaran pandemi.

“Setidaknya kita bisa tahan daya beli masyarakat 3% seperti di kuartal satu. Kalau untuk meningkat, jangan harap deh, kondisinya kaya gini,” tukasnya.
 

Jasa penukaran uang receh tak seramai biasanya karena pandemi Covid-19. Alinea.id/Oky Diaz.

img
Fajar Yusuf Rasdianto
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan