close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi Unsplash.com
Bisnis
Selasa, 28 September 2021 08:57

Antara Evergrande dan trauma krisis global 2008

Dampak kasus Evergrande di China tidak sebesar kasus Lehman Brothers yang menyebabkan krisis global tahun 2008.
swipe

Di tengah situasi pandemi yang tak kunjung berakhir, dunia dibuat geger oleh terkuaknya kasus gagal bayar Evergrande Real Estate Group. Perusahaan properti kedua terbesar di China itu gagal membayar utang jatuh tempo. Dampaknya pun buruk, tak hanya bagi perekonomian negeri Tirai Bambu, namun juga bagi dunia dan tak terkecuali Indonesia.

Dunia khawatir efek utang perusahaan berskala besar itu akan memberikan dampak sistemik. Seperti halnya terjadi pada Lehman Brothers, bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat yang mengalami kejatuhan dan membuat krisis sektor keuangan global 2008 silam. 

Mengutip CNN, perusahaan properti milik Hui Ka Yan itu menanggung utang hingga US$300 miliar atau setara dengan Rp4.260 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS). Dengan bunga utang yang telah jatuh tempo sebesar US$83,5 juta.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Sugiyono Madelan Ibrahim menilai dengan kedekatan hubungan ekonomi antara Cina dan Indonesia, jatuhnya raksasa properti Cina itu bisa saja memberikan dampak besar bagi Tanah Air. Setidaknya ada tiga sektor yang berpotensi terkena rambatan dampak pailitnya Evergrande, yakni sektor pembiayaan properti, perdagangan khususnya ekspor, serta utang luar negeri Indonesia.

"Mekanisme dampaknya ini akan mengalir dari transaksi keuangan dulu, lalu ke perdagangan dan terakhir bisa ke valuta asing," bebernya kepada Alinea.id, Sabtu, (25/9).

Lebih lanjut, pengajar di Universitas Mercu Buana itu menjelaskan, utang Evergrande sebesar Rp4,2 kuadraliun itu dinilai dapat mempengaruhi likuiditas perbankan, yang dalam hal ini berperan sebagai kreditur perusahaan.

Untuk mencegah agar dampak yang ditimbulkan tidak terlampau besar sehingga dapat menimbulkan rush atau penarikan uang besar-besaran dari bank oleh masyarakat, pemerintah China pun akan memberikan bantuan likuiditas pada perbankan.
 
Sebagai informasi, Rabu (22/9) lalu pemerintah Cina melalui Bank Sentral China, People's Bank of China (PBOC) telah menyuntikkan sejumlah dana ke sistem perbankan sebesar 90 miliar yuan atau sekitar US$14 miliar atau setara Rp199,4 triliun. Selain itu, PBOC juga telah menyuntikan likuiditas kembali pada Senin (27/9) sebesar 100 miliar yuan atau US$ 15,47 miliar (sekitar Rp220 triliun) ke perbankan.

Di saat yang sama, otoritas Cina juga diperkirakan akan melakukan kebijakan uang ketat (tight money policy), kebijakan moneter oleh bank sentral untuk mengurangi peredaran jumlah uang ketika negara mengalami inflasi. 

"Dampaknya ke Indonesia kemungkinan adalah berkurangnya plafon kredit yang diberikan oleh perbankan China ke perusahaan-perusahaan infrastruktur di Indonesia," imbuh Sugiyono.

Ilustrasi Unsplash.com.

Tak heran jika kemudian pembangunan infrastruktur yang berasal dari kreditur China akan terganggu. Apalagi saat ini banyak perusahaan pembangunan infrastruktur di Indonesia yang terhubung dengan pendanaan dari perbankan pemerintah China.

Di sisi lain, kegagalan konsumen properti dalam membayar utang sektor properti, akan menjadi indikasi terjadinya masalah dengan pertumbuhan ekonomi China. Alhasil, Presiden Xi Jinping melakukan pengetatan kebijakan keuangan pada perbankan kreditur yang memberikan kredit pada Evergrande. 

"Itu berarti konsumsi dari konsumen properti atas impor barang dan jasa pun segera menurun," kata Sugiyono.

Ekspor barang dan jasa dari Indonesia ke China mempunyai pangsa pasar yang besar, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bersumber dari kegiatan ekspor ke China itu diperkirakan akan ikut menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Januari 2021, pangsa ekspor Indonesia ke China mencapai 21,16% dari total ekspor yang sebesar US$15,30 miliar.

"Selain itu bisa juga berdampak pada utang Indonesia ke Cina dalam mata uang renminbi (RMB/Yuan-red)," tambahnya.

Menurut Sugiyono, ketika ekonomi China kian merosot, RMB praktis akan mengalami devaluasi atau penurunan nilai mata uang terhadap rupiah dan dolar AS. Dus, hal itu akan mempengaruhi perdagangan yuan terhadap rupiah, atau valuta asing lainnya.

Terpisah, Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, meski tak besar, utang jumbo Evergrande juga bisa berdampak pada pasar uang dunia, tidak terkecuali Indonesia. Bahkan, hal tersebut sudah terlihat selama dua minggu terakhir. 

Di Indonesia, dampak kasus Evergrande terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) nampak pada perdagangan Selasa (21/9) lalu. Saat itu, pasar saham ditutup melemah pada posisi 15,56 poin atau turun 0,26% ke posisi 6.060,76.

Sementara kelompok 45 saham unggulan atau Indeks LQ45 turun 3,1 poin atau 0,36% ke posisi 851,73. Hal ini terjadi seiring meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar terhadap dampak dari potensi gagal bayar utang raksasa Evergrande Group.

Seorang pria berdiri di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, pada saat pandemi. Foto Reuters.

"Tapi ini sangat minim dampaknya ke Indonesia. Ini (kondisi pasar uang Indonesia-red) akan semakin membaik karena pemerintah China yang juga turun tangan ikut mengatasi masalah Evergrande," ujar Josua, saat dihubungi Alinea.id, Senin (27/9).

Apalagi, otoritas China juga telah berupaya untuk melakukan bail out atau penyelamatan terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok yang kondisi keuangannya cenderung memburuk di tengah pandemi Covid-19. Bahkan, dengan peran aktif pemerintah China dalam penanganan default Evergrande, Josua memperkirakan, dampak untuk Indonesia maupun dunia tidak akan seburuk kasus Lehman Brothers.

"Ini disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah size dari Evergrande yang tidak sebesar Lehman Brothers kala itu," jelas dia.

Seperti yang telah diketahui, Evergrande merupakan perusahaan yang berbasis di Shenzen dengan jumlah pekerja hingga 200 ribu orang dan secara tak langsung menyediakan 3,8 juta pekerjaan setiap tahunnya. Perusahaan ini memiliki 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di Tiongkok. 

Adapun aset Evergrande Group diperkirakan sebesar 2 triliun Yuan atau setara US$310 miliar. Menurut perhitungan Goldman Sachs Group Inc, nilai itu berkontribusi 2% dari produk domestik bruto China.

Bangkrutnya Lehman Brothers

Adapun Lehman Brothers adalah bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat, setelah Citigroup, JP Morgan dan Merrill Lynch. Berita bangkrutnya bank ini tentu merupakan hal yang sangat mengejutkan, mengingat keberadaannya yang sudah teruji selama 158 tahun. Lehman Brothers sendiri memiliki aset sebesar US$639 miliar.

Utang Lehman Brothers sudah mencapai US$613 miliar. Jumlah ini sedikit lebih rendah daripada asetnya yang diklaim senilai US$639 miliar. Ketika pengumuman kebangkrutan itu disampaikan, nilai sahamnya langsung jatuh hingga 94%. Akhirnya, saham dari perusahaan ini dihapus dari Wall Street. Artinya, 1,2 miliar lembar saham perusahaan yang memiliki riwayat 158 tahun itu berharga nol.

Josua menambahkan faktor lain dampak Evergrande adalah karena konektivitas pasar Cina yang tak sebesar Amerika Serikat. "Sehingga bila terjadi krisis, dampaknya cenderung bersifat lokal," tegas dia.

Menurut Citigroup Inc, terlepas dari apa yang terjadi pada Evergrande, harga rumah China sekarang berisiko mengalami penurunan signifikan. Bahkan, Indeks Properti Hang Seng turun ke level terendah dalam lima tahun awal bulan ini. Begitu juga indeks 12 anggota lain, termasuk Country Garden Holdings Co. yang kehilangan 25% sejak akhir Maret dan China Overseas Land & Investment Ltd. yang turun 16%.

Di saat yang sama, saham perusahaan yang telah meminjamkan uang atau berinvestasi di perusahaan real estate China akan tetap bergejolak. Lantaran investor akan mempertimbangkan potensi lonjakan kredit macet dan penurunan aset.

“Sementara pembuat kebijakan diharapkan untuk memberikan dukungan, beberapa bank mungkin menjadi korban. China Minsheng, Ping An Bank dan China Everbright memiliki risiko tertinggi bagi pengembang,” tulis analis Citigroup Judy Zhang dalam sebuah laporan, beberapa waktu lalu.

Ilustrasi Unsplash.com.

Hal lain yang membedakan kasus Evergrande dan Lehman Brothers lainnya, kata Direktur PT Panin Asset Management Winston Sual adalah perbedaan dari sisi waktu. Winston menuturkan, kolapsnya Lehman Brothers terjadi seiring surat utang dari perusahaan properti yang ratingnya jelek tergempur krisis keuangan. Hal itu berdampak besar untuk Lehman Brothers. Kreditor dan pembeli surat utangnya pada saat itu juga mengalami krisis karena sulit mendapatkan likuiditas. 

"Likuditas ketat, ekonomi sedang mengarah ke bawah, terjadi krisis keuangan. Jadi Lehman Brothers tidak sanggup bayar utang USD 600 miliar, dan dia kolaps," ujar dia, Minggu (26/9).

Dibandingkan dengan situasi sekarang, likuiditas berlimpah karena banyak bank sentral di seluruh dunia yang tengah mencetak uang. Apalagi saat berbagai pihak berusaha untuk menggenjot ekonomi dan bertumbuh setelah pandemi Covid-19.

Perbedaan selanjutnya, ada pada sumber masalah kedua perusahaan. Untuk Lehman Brothers, lanjut Winston, masalah terjadi karena subprime mortgage yang dipicu langkah investor beli surat berharga untuk spekulasi. Kemudian suku bunga tiba-tiba naik dan likuiditas sangat ketat sehingga membuat harga properti hancur. Hal itu lantas membuat banyak perusahaan gagal bayar.

"Kalau Evergrande terjadi di China bukan karena harga properti hancur," ujar dia.

Masalah Evergrande bermula seiring pemerintah Cina yang melihat perkembangan harga properti yang makin tak wajar sejak beberapa tahun lalu. Terbukti, saat ini harga properti, khususnya di China daratan telah melonjak sangat tinggi.

Otoritas Cina kemudian memutuskan untuk mengatur harga properti di sana, dengan melakukan pengetatan dan memberlakukan kebijakan three red lines yang ditujukan untuk pengembang-pengembang besar. Sehingga dapat mengurangi permintaan dan persediaan properti.

"Dengan ini, pengembang properti untuk melakukan pre-sales untuk cadangan modal, dan cari utang untuk membangun tidak bisa dilakukan. Evergrande adalah salah satu yang enggak bisa nambah utang lagi," urai Winston. 

Akibatnya, masyarakat mulai ragu membeli properti dari Evergrande karena khawatir pengembang tersebut tak bisa membangun properti lagi. Akhirnya kemampuan Evergrande untuk membayar utang pun sangat berkurang, termasuk saat pembayaran kupon pada Kamis pekan lalu.

Dampak tak signifikan

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo bahkan optimistis dampak Evergrande bagi Indonesia minim. Dia bilang, utang besar perusahaan properti di China itu memang telah menyumbang ketidakpastian di pasar uang global. Bahkan, hal itu juga bisa mempengaruhi pasar nasional.

“Pasar modal Indonesia bisa mendapat pengaruh. Tapi ingat, ini karena faktor eksternal, pasar modal terpengaruh bukan karena faktor domestik,” ujar Perry dalam konfersi pres, Selasa (21/9).

Selain itu, dampaknya pada investasi portofolio juga tidak besar. Pasalnya, masih ada aliran modal asing yang masuk ke Indonesia. Ia mencatat, dari periode 20 Juli 2021 hingga 17 September 2021, terdapat aliran modal asing masuk hingga US$15 miliar. 

“Ini tentu saja untuk dampaknya secara keseluruhan pada investasi portofolio tidak tampak,” tambahnya.

Meski kecil dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, Perry mengaku akan tetap memantau perkembangan kasus Evergrande. Hal senada juga diutarakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi press APBN KiTa, Kamis (23/9) lalu.

"Kita juga harus melihat, dengan mewaspadai apa yang terjadi pada perekonomian Tiongkok dengan adanya gagal bayar dari perusahaan Evergrande ini," katanya.

Meski relatif kecil, Ekonom Permata Bank Josua Pardede menyarankan agar baik pemerintah maupun Bank Indonesia tetap melakukan langkah-langkah preventif. Tujuannya, untuk memperkuat iklim investasi di Indonesia. 

Sehingga akan mendorong peningkatan investasi baik investasi portofolio dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang berpotensi mendorong terjaganya confidence investor, terutama investor asing. Selain juga dapat mendukung terciptanya stabilitas nilai tukar rupiah dan perekonomian.

Di sisi lain, bank sentral harus selalu mendorong langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah melalui triple intervention di pasar valas spot, di pasar Domestic NDF dan di pasar SBN. "Ini harus dilakukan di tengah perkembangan berbagai sentimen eksternal yang berpotensi mempengaruhi stabilitas perekonomian," tandasnya.
 

Ilustrasi Alinea.id/Firgie Saputra.

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan