Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengungkapkan, bakal membuat bursa kerja atau job fair setiap pekan dalam upaya mengurangi angka pengangguran karena pelemahan aktivitas ekonomi. Dia menyebut, saat ini ada 7,5 juta orang yang menganggur.
“Job fair seperti ini, bagi kami sangat strategis. Memberikan akses langsung kepada tenaga pencari kerja dengan perusahaan,” ujar Yassierli di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Kamis (21/11), seperti dikutip dari Antara.
Salah satu bursa kerja yang diinisiasi Kemenaker adalah Naker Expo 2024 yang diadakan di Jakarta pada 21-22 November 2024. Lalu, bakal diadakan di Semarang pada 30 November-1 Desember 2024 dan Jakarta pada 14-15 Desember 2024.
“Saya rasa, job fair memang memiliki potensi sebagai solusi untuk pengangguran di kalangan lulusan baru, tetapi tidak sepenuhnya efektif,” ujar Aldi Pranata—lulusan baru dari sebuah universitas negeri di Kota Depok, Jawa Barat—kepada Alinea.id, Sabtu (23/11).
Aldi, 23 tahun, merupakan lulusan program diploma 3 (D3). Sepengalamannya, Aldi mengakui, bursa kerja bisa memberikan peluang untuk berkenalan langsung dengan perusahaan, serta mengetahui berbagai jenis lowongan pekerjaan yang tersedia.
“Namun, sering kali banyak posisi yang ditawarkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau minat saya,” ucap Aldi.
“Job fair bisa jadi efektif untuk mereka yang belum memiliki pengalaman kerja, tapi tidak selalu menyelesaikan masalah pengangguran karena banyaknya persaingan dan terbatasnya jumlah posisi.”
Aldi mengungkapkan, salah satu kendala yang dia alami saat mengikuti job fair adalah kurangnya informasi detail tentang pekerjaan yang ditawarkan. Banyak perusahaan yang hanya memberikan gambaran umum tentang posisi, tanpa menjelaskan kualifikasi yang dibutuhkan secara spesifik. Selain itu, beberapa lowongan pekerjaan yang ada juga tidak sesuai dengan jurusan yang dia ambil saat berkuliah.
“Jadi saya merasa, ada kesenjangan antara apa yang saya pelajari di kampus dan apa yang dicari oleh perusahaan,” tutur Aldi.
Aldi pun merasa kurang kesempatan untuk berdiskusi langsung dengan pihak human resource development (HRD) atau departemen sumber daya manusia untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Di sisi lain, Aldi mengatakan, job fair perlu lebih adaptif dengan tren pasar kerja saat ini. Terutama yang terkait dengan teknologi. Sebab, saat ini banyak perusahaan mencari tenaga kerja yang menguasai bidang teknologi dan digital.
“Sementara lowongan di job fair sering kali lebih terfokus pada bidang konvensional, seperti pemasaran atau administrasi,” ucap Aldi.
Untuk itu, dia menyarankan, job fair agar lebih banyak menawarkan posisi yang berhubungan dengan perkembangan teknologi, seperti data analis, digital marketing, atau informasi dan teknologi (IT). “Untuk lulusan baru seperti saya, itu akan sangat relevan dan membantu mencari peluang kerja yang sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang,” tutur dia.
Menurut pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia (UI) Payaman Simanjuntak, meski job fair dapat mempertemukan pencari kerja dengan berbagai perusahaan, tetapi tidak semua akan diterima bekerja. Hal itu tergantung pada kecocokan antara kemampuan pelamar dan kebutuhan perusahaan.
“Masalah yang kita hadapi adalah keterbatasan kesempatan kerja. Lowongan kerja sangat terbatas,” ujar Payaman, Minggu (24/11).
“Job fair dimaksudkan untuk mempercepat mempertemukan pencari kerja dengan lowongan yang tersedia. Jadi, kalau tidak ada lowongan kerja yang ditawarkan, tujuan job fair itu tidak tercapai.”
Senada, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi mengatakan, job fair memang diikuti berbagai macam perusahaan yang memiliki kebutuhan spesifik pada pekerjaannya. Namun, belum tentu semua pelamar yang datang ke job fair diterima bekerja.
“Perlu juga diketahui berapa banyak pelamar yang berhasil diserap menjadi karyawan oleh perusahaan yang ikut serta,” ucap Tadjuddin, Minggu (24/11).
Tadjuddin menuturkan, angka pengangguran tertinggi biasanya ada di perkotaan, seperti di Jakarta. Maka, job fair bisa membantu mengurangi pengangguran. Hambatan geografis atau kurangnya informasi, kata dia, sering menjadi kendala, sehingga akses menjadi kunci penting.
“Namun, perlu dicari data terkait daya serap perusahaan terhadap pencari kerja melalui job fair, agar kita tahu seberapa besar pengaruhnya,” ujar Tadjuddin.
Dia melanjutkan, relevansi job fair sangat bergantung pada keberagaman dan fokus perusahaan yang berpartisipasi. Jika perusahaan teknologi ikut serta, menurut Tadjuddin, tentu lebih relevan bagi pencari kerja muda yang berorientasi pada sektor tersebut.
Tadjuddin pun mengingatkan, agar melakukan evaluasi terhadap job fair yang digelar sebelumnya. Terutama terkait berapa banyak perusahaan yang berpartisipasi dan seberapa besar daya serap tenaga kerjanya.
“Data ini penting untuk memahami apakah job fair bisa dianggap sebagai solusi jangka panjang dalam mengatasi pengangguran,” tutur Tadjuddin.