close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Indonesia dinilai kurang kompetitif lantaran ekspor kakao ke Uni Eropa justru kalah dari Pantai Gading. / Pixabay
icon caption
Indonesia dinilai kurang kompetitif lantaran ekspor kakao ke Uni Eropa justru kalah dari Pantai Gading. / Pixabay
Bisnis
Selasa, 17 September 2019 23:43

Apindo: Ekspor kakao RI ke Uni Eropa kalah dari Pantai Gading

Indonesia dinilai kurang kompetitif lantaran ekspor kakao ke Uni Eropa justru kalah dari Pantai Gading.
swipe

Indonesia dinilai kurang kompetitif lantaran ekspor kakao ke Uni Eropa justru kalah dari Pantai Gading.

Ketua Komite Perjanjian Perdagangan Bebas Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Wahyuni Bahar mengatakan komoditas kakao Indonesia kurang kompetitif jika dibandingkan dengan beberapa negara eksportir kakao ke Uni Eropa. Hal tersebut menyebabkan sulitnya ekspor komoditas kakao Indonesia ke pasar Uni Eropa.

"Jadi ada persoalan dengan SNI (Standar Nasional Indonesia) kita, bukan rahasia lagi bahwa pemeriksaan tidak dilakukan seusai dengan SOP (Standar operasional prosedur), tapi di sana importirnya cek, kantor kami nangani beberapa kasus, ditolak, ternyata ada banyak cacat dan sebagainya," kata Bahar dalam paparannya di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa (17/9).

Menurutnya sedikitnya ekspor kakao ke Uni Eropa disebabkan karena produk kakao asal Indonesia masih dikenakan bea masuk 4%-5% oleh UE. Kebijakan tersebut berbeda dengan negara-negara berkembang seperti di Pantai Gading dan Ghana yang sama sekali tidak dikenakan tarif.

"Pantai Gading dan Ghana yang menduduki peringkat teratas dalam ekspor kakao dunia," jelasnya. "Negara Afrika bisa masuk deras, karena mereka dikenakan tarif nol persen, kita tarifnya tinggi," lanjutnya.

Bahar mengakui kualitas kakao Indonesia pun masih kalah dengan kedua negara tersebut. Bahkan, Pantai Gading dan Ghana disebut telah memiliki sejumlah sertifikat yang diakui oleh Uni Eropa sehingga mempermudah ekspor kakao mereka.

"Nah biji kakao Indonesia itu masih mengandung kadmium," ujarnya.

Selain itu, kakao Indonesia juga mengalami sejumlah persoalan di antaranya menurunnya tingkat produktivitas kakao di Indonesia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh CIPS tren tingkat produksi kakao Indonesia selalu menurun setiap tahunnya dari tahun 2012-2017.

Pada 2017 produksi kakao Indonesia mencapai 659.000 ton, produksi tersebut menurun jika dibandingkan tahun 2012 yang mampu memproduksi kakao mencapai 740.000 ton. Namun jika dibandingkan tahun sebelumnya, hanya naik sebanyak 437.000 saja.

Bahar menyebut penurunan produktivitas kakao disebabkan karena tidak adanya revitalisasi terhadap pohon-pohon yang sudah tua, yang menjadikan pohon tersebut juga rentan hama dan penyakit tanaman mudah tertular ke tanaman lain.

"Kalau pohon usia produktifnya itu lima tahunan, tapi sekarang usianya sampai 30 tahunan jadi sudah tua, tapi di saat bersamaan petani enggan tanam pohon baru karena baru lima tahun bisa dirasakan manfaatnya," ujarnya.

Dia menjelaskan, kendala lain adalah, kurangnya transfer tenologi di perkebunan kakao dan industri pengolahan kakao yang sudah terbuka 95% penggunaan mesin impor oleh industri pengolahan kakao, dan tidak ditemukannya insentif khusus untuk investasi di perkebunan dan industri pengolahan kakao.

Untuk mengatasi kendala tersebut, Bahar mendorong pemerintah untuk segera menegosiasikan bea masuk kakao Indonesia agar menjadi nol melalui perjanjian dagang, dan mengeleminasi terhadap bea masuk impor dan bea keluar ekspor biji kakao.

Selanjutnya, pemerintah harus mengkonversi lahan-lahan terlantar di Indonesia untuk perkebunan baru, sebagai upaya peningkatan produksi kakao Indonesia dan melakukan peremanjaan tanaman kakao tua yang efektif.

img
Ardiansyah Fadli
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan