close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pekerja menata batik tulis khas Bogor di galeri Usaha Kecil Menengah (UKM) Dekranasda Bogor, Jawa Barat, Kamis (25/10)./AntaraFoto
icon caption
Pekerja menata batik tulis khas Bogor di galeri Usaha Kecil Menengah (UKM) Dekranasda Bogor, Jawa Barat, Kamis (25/10)./AntaraFoto
Bisnis
Rabu, 21 November 2018 17:56

Apindo mengaku tidak dilibatkan saat penyusunan PKE XVI

Pengusaha masih belum memahami mengenai isi dari PKE XVI tersebut
swipe

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyesalkan tidak dilibatkannya pengusaha dalam meramu paket kebijakan ekonomi (PKE) XVI, yang baru-baru ini diluncurkan Pemerintah. 

"Salahnya kenapa tidak dikomunikasi dulu ke dunia usaha, sebelum ke publik. Entah itu Kadin (Kamar dagang industri), Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), Apindo, seharusnya diajak bicara dulu. Nah itu sebenarnya yang sudah kami ingatkan berkali-kali ke pemerintah," ujar Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani , saat ditemui di salah satu hotel di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (21/11). 

Lebih lanjut Shinta menyarankan agar pemerintah jangan terburu-buru dalam meluncurkan PKE XVI ini. Jangan melaksanakan sebelum para pengusaha mengetahui isinya secara benar dan utuh.  

Pengusaha masih belum memahami mengenai isi dari PKE XVI tersebut, terutama mengenai perluasan Daftar Negatif Investasi (DNI). Misalkan saja apakah benar UMKM tidak berdampak ke PMA 100%, pasalnya usulan PKE XVI ini agar UMKM bisa bermitra dengan asing. Pengusaha masih mempertanyakan kemitraan bagaimana yang sebenarnya didengungkan lewat PKE XVI ini. "Mesti diperjelas seperti apa kemitraannya," paparnya. 

Kendati demikian, Shinta mengapresiasi atas keputusan pemerintah kepada dunia usaha untuk menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan perluasan Tax Holiday di Indonesia. DHE merupakan salah satu kebijakan sebelumnya sudah ada komunikasi dari pemerintah dengan pengusaha. 

Semua pelaku usaha, sudah setuju semua mengenai penerapan DHE. Apalagi DHE juga tidak perlu dikonversi ke rupiah karena tidak semua usaha bisa melakukan itu.

Sementara Pengamat Ekonomi Suroto menyarankan agar pemerintah melakukan reformasi regulasi bukan deregulasi untuk merespons dampak perekonomian global khususnya bagi para pelaku UMKM di Tanah Air. Menurutnya, paket kebijakan ekonomi ke-XVI yang baru dirilis Pemerintah akan memberikan dampak jangka panjang yang kurang menguntungkan bagi pelaku UMKM. "Usaha skala mikro dan kecil kita akan benar-benar terpukul dan terpenetrasi," katanya.

Kebijakan "tax holiday" dan pencabutan DNI (Daftar Negatif Investasi) hanya akan memberikan keuntungan jangka pendek bagi stabilitas pasar. "Kepentingannya sangat jangka pendek hanya untuk mengirimkan sinyal positif ke pasar modal. Ini terlihat dari respons pasar dalam pekan ini," katanya.

Kebijakan ini rentan memukul usaha skala mikro dan kecil dalam jangka panjang dan melemahkan fundamental ekonomi domestik, terlebih struktur usaha mikro dan kecil itu mendominasi hingga lebih dari 90 persen pelaku usaha di Indonesia.

Para pelaku UMKM dalam posisi yang sedang terdesak dalam persaingan usaha dan miskin insentif. "Jadi kalau diliberalisasi jelas kalah bersaing dan terpenetrasi oleh usaha modal besar," katanya.

Upaya peningkatan skala usaha, soal akses permodalan, pasar, dan sumberdaya manusia dianggapnya belum mencukupi untuk dikatakan mampu bersaing. Jadi para pelaku UMKM cenderung hanya akan jadi penonton dan dipenetrasi usaha-usaha skala besar. "Untuk mengangkat usaha skala mikro dan kecil kita itu seharusnya justru dilakukan reformasi regulasi bukan deregulasi. Berikan dulu insentif-insentif yang memadai dan ciptakan lingkungan yang kondusif bagi peningkatan skala usaha mereka lalu lihat bergerakannya baru dibebaskan," katanya.

Ia menyarankan pemberian insentif pajak, rekayasa kelembagaan, kemudahan perizinan, kemudahan untuk mendapatkan hak paten dan merek dagang, pengembangan SDM, pemanfaatan teknologi dan lain-lain dengan lebih memadai.

"Usaha mikro dan kecil itu hanya butuh hal-hal sederhana kok, dan tidak pernah menuntut 'privilege' macam-macam dan juga faktor pendukung lain semacam jaminan investasi, 'bail-out', 'tax holiday', dan lain-lain," katanya.

Kondisi perekonomian global, seharusnya disikapi dengan lebih bijaksana, hal yang diperlukan adalah reformasi regulasi bukan deregulasi. "Jadi kepentingan domestik itu yang dipentingkan. Contoh paling nyata adalah soal industri rumah tangga, industrialisasi skala rumah tangga kita sebetulnya sudah lama mati karena itu ini yang harusnya diangkat dulu. Berikan kebijakan substitusi untuk menggenjot industri rumah tangga terutama pangan dan energi alternatif yang menyumbang defisit besar neraca perdagangan kita," katanya.

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan