Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengimbau pemerintah untuk berhati-hati menerapkan pajak penghasilan (PPh) impor. Tujuannya, agar penerapan PPh impor tersebut tidak kontraproduktif, terutama terhadap barang konsumsi.
"Karena saat ini industri manufaktur Indonesia mulai tumbuh. Jangan sampai ini menjadi kontraproduktif terhadap keinginan pemerintah untuk mendorong ekspor bernilai tambah tinggi," ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Kamis (23/8).
Terlebih, pemerintah saat ini tengah giat membuka pasar melalui perundingan FTA, dan menarik investasi. Sehingga, pemerintah memang harus menjalankannya dengan hati-hati.
Dikhawatirkan, kata Shinta, apabila pemerintah menerapkan kebijakan ini, maka akan memberikan mixed signal kepada investor, maupun mitra perundingan Indonesia. Selain itu, pemerintah juga harus waspada terhadap kebijakan retaliasi yang mungkin dihadapi nanti.
Apabila pemerintah tetap memaksa melaksanakan kebijakan tersebut, Shinta berharap pemerintah hati-hati dalam menentukan komoditas yang akan dikenakan kenaikan PPh impor. Sebab, implikasinya akan sangat luas, terutama komoditas yang dibutuhkan sebagai bahan baku produksi untuk produk ekspor. Demikian halnya dengan komoditas yang tidak ada substitusi impor di dalam negeri.
“Saya juga mau mengingatkan kembali, kita adalah bagian dari perdagangan Internasional. Kalau indonesia terlihat mulai membuat kebijakan yang membatasi impor, akan terlihat sebagai proteksionisme. Sementara dari sisi lain, kita melakukan liberalisasi dengan membuat perjanjian perdagangan bebas, baik secara bilateral regional maupun multilateral”, tegas Shinta.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pengenaan PPh impor akan tertuang dalam peraturan menteri keuangan (PMK) yang keluar secepatnya.
Soal detailnya, pihaknya masih akan dibicarakan lebih lanjur dengan Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
Ia sendiri masih enggan menjelaskan barang yang bakal terkena kewajiban ini. "Nanti kami akan identifikasi lagi," ujarnya beberapa waktu lalu di kantornya.
Menurutnya, selain melakukan pembahasan internal, Menkeu juga akan mengajak Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Bank Indonesia (BI), dan Ototitas Jasa Keuangan (OJK) untuk berembuk.
Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai impor sepanjang Januari-Juli 2018 mencapai US$ 17,32 miliar, melesat 24,48% dibanding periode sama tahun lalu. Kenaikan impor yang tinggi berakibat pada defisit neraca dagang US$ 3,09 miliar.