Aplikasi streaming video jadi idola, selamatkan rumah produksi pascapandemi
Serial WeTV Original 'My Lecturer My Husband season 2' (MLMH2) baru saja memasuki episode 3, pada Sabtu (4/6) kemarin. Meski begitu, serial yang rencananya akan memiliki 10 episode ini telah menjadi perbincangan warganet dan trending 1 setelah tayang.
Serial yang dibintangi Reza Rahadian dan Prilly Latuconsina ini tercatat telah ditonton lebih dari 20 juta kali, dalam kurun waktu kurang dari satu minggu setelah penayangan perdananya. 'MLMH2' juga menjadi trending video nomor 7 dan 9 di YouTube sejak 29 Mei lalu. Layanan Over The Top (OTT) milik Tencent ini bahkan mencatat musim pertama 'MLMH' sebagai serial trending favorit sepanjang masa.
Hal ini mendasari Produser 'MLMH2' Manoj Punjabi kembali menggarap serial itu. “Pada saat ditayangkan, 'My Lecturer My Husband' selalu menjadi trending, bahkan setelah selesai masih ada di posisi atas di WeTV dan Iflix, sebagai serial Indonesia dengan jumlah penonton terbanyak,” kata dia, dalam peluncuran trailer dan poster 'My Lecturer My Husband season 2', di MD Place, Jakarta, Sabtu (21/5) lalu.
Sementara itu, 'MLMH' season 1 dan 2 bukanlah satu-satunya serial garapan MD Pictures yang berhasil trending di berbagai negara. Serial lain yang tak kalah populer dan menjadi trending di berbagai negara lainnya antara lain, 'Antares', 'Kisah untuk Geri', hingga 'Cinta Fitri'.
Pun demikian dengan serial Layangan Putus yang juga masuk ke dalam jajaran series Indonesia terbaik yang tayang di tahun 2021. Episode 7B 'Layangan Putus' yang dibintangi oleh Reza Rahardian, Putri Marino dan Anya Geraldine ini berhasil menjadi trending nomor 1 di 15 negara seperti Indonesia, Amerika Serikat, Malaysia, dan lainnya.
Serial yang diangkat dari kisah viral ini juga trending nomor 2 di empat negara seperti Uni Emirat Arab, Inggris, Swiss, dan Swedia. Lalu, trending tiga di Kanada dan Romania; trending empat di Taiwan dan Italia; trending lima di Arab Saudi; serta trending delapan di Polandia. Tidak hanya itu, Manoj juga mengklaim serial yang tayang di platform WeTV dan Iflix ini juga berhasil mencapai 15 juta penayangan setiap harinya.
Beberapa judul series di atas menjadi bukti bahwa serial Indonesia tidak kalah menarik dan berkualitas dibanding serial impor. Manoj yang juga Direktur Utama MD Pictures ini menginginkan serial Indonesia tidak hanya dapat dikonsumsi oleh penonton dalam negeri saja, melainkan juga dunia melalui aplikasi video streaming.
“Masuknya Disney+ jadi makin besar,” jelas Manoj, kepada Alinea.id dalam kesempatan lain.
Selain untuk memperkenalkan serial Indonesia pada dunia sekaligus juga mencoba bangkit dari keterpurukan usai pagebluk, MD Pictures pun mengubah model bisnisnya hingga 180 derajat. Rumah produksi ini menjadi lebih berfokus untuk masuk ke dalam industri OTT. Meskipun, Manoj mengaku tidak serta merta ingin meninggalkan begitu saja identitas MD Pictures sebagai rumah produksi film layar lebar kenamaan.
“Bioskop akan tetap ada dan menjadi bisnis yang menguntungkan, tapi bioskop akan lebih menjadi seperti eksposure, image, dan lainnya. Sementara OTT menjadi model bisnis baru,” kata pria 50 tahun ini.
Pada laporan keuangan tahunannya, PT MD Pictures Tbk. melaporkan kerugian bersih sebesar Rp56,95 miliar di sepanjang 2020. Padahal, pada tahun sebelumnya perseroan masih mencatatkan laba senilai Rp60,96 miliar.
Berdasar keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), kerugian MD Pictures diakibatkan oleh penurunan penjualan perseroan hingga 51,10% menjadi Rp122,36 miliar, dibanding tahun sebelumnya yang sebesar Rp250,24 miliar. Penjualan itu berasal dari penjualan film, sewa bangunan, sewa alat shooting, serta studi dan sound mixing.
Secara rinci, penjualan film di sepanjang 2020 tercatat senilai R94,61 miliar, turun dari Rp213,13 miliar pada 2019. Kemudian penjualan sewa bangunan yang sebelumnya sebesar Rp35,02 miliar hanya menjadi Rp19,55 miliar serta sewa studio dan sound mixing tercatat anjlok hingga Rp192,25 juta dari yang sebelumnya sebesar Rp308,75 juta.
Penjualan Film MD Entertaiment
Platform |
2017 |
2018 |
2019 |
2020 |
2021 |
Layar Lebar |
Rp127,16 miliar |
Rp200,4 miliar |
Rp138,51 miliar |
Rp19,40 miliar |
Rp3,28 miliar |
Digital |
Rp5,13 miliar |
Rp62,08 miliar |
Rp69,88 miliar |
Rp67,45 miliar |
Rp218,63 miliar |
Stasiun Televisi |
Rp13,11 miliar |
Rp6,68 miliar |
Rp2,29 miliar |
Rp3,74 miliar |
Rp4,91 miliar |
DVD dan VCD |
Rp0,47 miliar |
Rp0,18 miliar |
- |
- |
- |
Lain-lain |
Rp5,21 miliar |
Rp2,97 miliar |
Rp2,45 miliar |
Rp4,01 miliar |
- |
Total Penjualan Film |
Rp151,08 miliar |
Rp272,31 miliar |
Rp213,13 miliar |
Rp94,61 miliar |
Rp226,82 miliar |
Sumber: Laporan Keuangan MD Entertainment
Sebaliknya, pendapatan dari sewa alat shooting mengalami kenaikan, dari yang sebelumnya senilai Rp1,78 miliar menjadi Rp8,01 miliar di 2020. “Di awal krisis kita memang rugi dan bahkan harus melepaskan beberapa karyawan,” katanya.
Cukup setahun merugi, perusahaan dengan kode saham FILM ini pun berhasil membalikkan keadaan pada 2021. Hal ini tak lepas dari kesuksesan serial-serial MD Pictures di berbagai platform OTT. Bagaimana tidak, anak usaha MD Entertainment ini telah mengantongi kontrak lisensi multi tahun dengan semua platform OTT, termasuk platform-platform besar seperti WeTV, Disney+Hotstar, Viu, Netflix, Iflix, MOX, hingga MAXstream.
Dari kontrak-kontrak tersebut, di sepanjang 2021 lebih dari 80% pelanggan subscription video on-demand (SVOD) MD Pictures disumbang oleh Disney+Hotstar dengan 2,5 juta pelanggan subscription, Viu dengan 1,5 juta pelanggan, Video 1,1 juta pelanggan, dan Netflix 0,85 juta pelanggan. Sementara 20% subscription lain berasal dari platform WeTV, iFlix, MOX, MAXstream, dan iTunes.
Dengan kondisi ini, MD Pictures pun berhasil mencatatkan pendapatan dari platform digital hingga Rp218,63 miliar, naik dari pendapatan digital di tahun 2020 yang hanya sebesar Rp67,45 miliar. Tidak hanya itu, pendapatan ini juga setara dengan 86% dari keseluruhan pendapatan perseroan yang senilai Rp255 miliar.
“Saya yakin di tahun 2022, bisnis OTT dan bioskop akan semakin membaik,” tegas Manoj.
Dengan keyakinan tersebut, hingga akhir tahun ini suami Shania Lakhaiani ini pun berencana memproduksi 5-7 judul series lagi. Selain juga akan menggarap beberapa film layar lebar.
Kompetitor tak mau kalah
MD Pictures bukan satu-satunya rumah produksi yang berniat mengoptimalkan potensi industri OTT. Perusahaan hiburan milik taipan Hary Tanoesoedibjo pun mulai serius menggarap pasar layanan streaming video sejak paruh kedua tahun lalu. Hal ini dilakukan dengan cara menutup hak siar linier RCTI atas platform OTT pihak ketiga pada 7 November 2021 dan diikuti oleh GTV pada 15 Desember 2021.
Dus, RCTI dan GTV hanya akan tersedia secara eksklusif di platform OTT milik Grup MNC, RCTI+ (Advertising Video on Demand/AVOD super-app) dan Vision+ (SVOD super-app). Sedangkan MNCTV dan iNews akan tetap tersedia di platform OTT pihak ketiga.
“Langkah ini dilakukan untuk memperkuat grup digital entertainment, sebagai bagian dari komitmen MNCN untuk melindungi konten yang tersedia secara eksklusif di platform grup dan untuk memperkuat posisi pasar,” kata Hary, dalam keterbukaan informasi, yang dikutip Alinea.id, Sabtu (4/6).
Selain itu, pada awal tahun ini Grup MNC melalui PT MNC Studios International Tbk (MSIN), mengambil langkah strategis untuk menciptakan grup digital entertainment terbesar di Indonesia. Langkah ini salah satunya dengan memasukkan super-app AVOD RCTI+ dan SVOD OTT Vision+ menjadi bagian dari perseroan.
Di saat yang sama, Grup juga mengkonsolidasikan enam portal media yang sebelumnya ada di bawah naungan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), yakni Okezone.com, Sindonews.com, iNews.id, Celebrities.id, idxchannel.com, dan Sportstars.id. Kemudian, MSIN juga mengakuisisi platform media berbasis Artificial Intelligence (AI) BuddyKu.
Berdasarkan data Nielsen, MSIN memproduksi 1.284 jam program drama sepanjang kuartal-I 2022 atau 42,8% dari total jam produksi. Kemudian MSIN memproduksi 90,3 jam konten animasi atau 83,1% dari total jam produksi, 169 jam konten kategori program reality, dan 433 jam konten infotainment yang setara dengan 34% dari total jam produksi di kategori tersebut.
“Dalam genre program yang lebih penting untuk acara prime time TV FTA, konten MNC Pictures telah menduduki puncak konten terbaik dengan 4 konten memecahkan rekor MURI dan mempertahankan posisinya dalam 10 program drama yang paling banyak ditonton pada 2022,” kata Hary.
Sebelumnya, perseroan pun telah menghasilkan berbagai drama seri dengan pencapaian yang sangat luar biasa seperti Ikatan Cinta, Putri Untuk Pangeran, Kun Anta, dan masih banyak lagi.
MSIN berhasil mencatatkan pendapatan subscription sebesar Rp123,9 miliar. Selain itu, jumlah pengguna RCTI+ juga mencapai 64,6 juta pengguna aktif bulanan (mothly active user/MAU) dan Vision+ telah berhasil menghasilkan lebih dari 2 juta pelanggan berbayar, 8 juta pengguna terdaftar, dan lebih dari 47 juta MAU. Diikuti oleh portal online, yang secara kolektif telah menghasilkan lebih dari 80 juta MAU.
Siap bersaing dengan Netflix cs
Dengan konsolidasi ini, pengusaha yang karib disapa HT ini pun mengaku siap dan tidak takut menghadapi platform OTT asing. Meskipun platform OTT asing kian menjamur di Indonesia, namun pada kenyataannya mereka masih menghadapi kesulitan untuk menjaring penonton lokal akibat perbedaan budaya.
“Kalau persaingan dari OTT asing kami tidak takut, meskipun mereka juga produksi konten lokal. Mereka bisa produksi, tapi pertanyaannya adalah bagaimana dengan kualitasnya," ujarnya, dalam paparan public PT Global Mediacom Tbk (BMTR) secara daring, Jumat (3/6).
Platform streaming memang semakin diminati oleh masyarakat pascapandemi. Hal ini terlihat dari riset terbaru The Trade Desk dan Kantar bertajuk Future of TV Indonesia 2022: The State of OTT in Indonesia. Dalam riset tersebut, disebutkan bahwa di tahun ketiga pandemi Covid-19, satu dari tiga orang Indonesia saat ini menonton konten OTT dan mengonsumsi 3,5 miliar jam konten per bulan. Dengan konsumsi rata-rata penonton adalah 41,4 jam per bulan.
Produser dan sutradara film, Verdi Solaiman mengatakan pandemi telah berdampak terhadap industri perfilman cukup signifikan, termasuk kepopuleran platform video streaming sebagai alternatif pengganti bioskop. Bagi industri film, platform OTT seperti Netflix, Disney Hotstar, Viu, WeTV, Goplay, dan lain sebagainya juga menjadi nafas baru di tengah hantaman pandemi Covid-19.
“OTT juga bisa menjadi perpanjangan tangan hasil produksi. Misalnya, setelah memproduksi film untuk layar lebar, film itu bisa dijual lagi ke pihak platform. Kalau sebelumnya kan hanya televisi saja,” kata dia, kepada Alinea.id, Senin (6/6).
Di sisi lain, ketatnya persaingan platform OTT baik yang ada di dalam negeri maupun platform OTT asing, mau tidak mau juga dapat memacu kualitas produksi film dan serial lokal. Dia mengakui, salah satu tantangan yang masih harus dihadapi oleh industri film nasional sampai saat ini adalah masih belum memadainya sumber daya perfilman.
Menurutnya, talenta film dalam negeri seperti kru masih bisa dibilang sangat terbatas, sehingga berdampak pada sisi produksi baik dalam hal kuantitas maupun kualitas. Padahal, satu platform OTT saja bisa memproduksi puluhan konten original per tahun, yang tentunya membutuhkan sumber daya dalam jumlah besar.
“Talenta film kita ini masih terbatas, pendidikan film juga demikian. Padahal sekarang demand-nya cukup tinggi baik untuk konten film atau series. Jadi harus ada regenerasi cepat untuk seluruh talent, kru, pemain juga,” imbuhnya.
Sementara itu President of Digital Business Visinema Ajeng Parameswari mengatakan potensi industri OTT nasional turut berkembang pesat. Ini seiring dengan semakin tingginya konsumsi rumah tangga nasional pada 2021, termasuk di dalamnya konsumsi hiburan dan rekreasi plus banyaknya jumlah penduduk serta penetrasi pengguna internet Indonesia.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Allied Market Research, pasar OTT di Indonesia besarnya mencapai US$360 juta pada tahun 2019, dan diproyeksikan akan meningkat menjadi US$4,45 miliar pada tahun 2027. Belum lagi, berdasarkan data Media Partner Asia, total menit streaming mingguan video online di perangkat seluler tumbuh 60% secara agregat di seluruh Indonesia.
“OTT telah berevolusi dengan memproduksi konten-konten unik seperti serial web atau film orisinal yang hanya tayang eksklusif di masing-masing platform untuk menarik konsumen ke dalam platformnya,” jelas Ajeng, saat dihubungi Alinea.id, Senin (6/6).
Platform OTT juga menjadi alternatif menonton film di bioskop. Meskipun layar besar dan sound system canggih membuat pengalaman menonton di bioskop tak tergantikan. Selain itu, banyaknya film-film yang tidak dapat ditayangkan di bioskop makin mendorong OTT untuk mengambil peranannya dalam industri film Indonesia.
Karenanya, makin banyak konsumen yang beralih ke sumber hiburan di rumah. Belum lagi, OTT juga menawarkan harga murah bagi para penonton. Dengan biaya berlangganan di kisaran Rp30.000-Rp50.000 per bulan, penonton bisa menikmati berbagai konten yang tersedia dalam platform sepuasnya.
“Platform OTT telah membuat pengalaman menonton film menjadi lebih praktis, murah dan mudah,” imbuhnya.
Terpisah, Direktur Akses Pembiayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Hanifah Makarim bilang, dengan berbagai keterbatasan yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, transformasi digital memang sudah seharusnya dilakukan oleh para pelaku film nasional. Hal ini pun telah didukung penuh oleh pemerintah.
Namun demikian, yang menjadi catatannya, rumah-rumah produksi harus tetap mengedepankan tema cerita yang mengedepankan budaya Indonesia. “Agar ke depannya budaya dan film-film Indonesia bisa semakin dikenal di dunia. Karena kan dengan masuknya film kita ke platform OTT, artinya film itu tidak hanya ditayangkan di Indonesia saja, melainkan di seluruh dunia,” ujarnya, kepada Alinea.id, Minggu (5/6).