Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) membantah adanya penimbunan minyak goreng yang berdampak pada kelangkaan di pasaran. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey.
Dia menyampaikan, secara tegas Aprindo tidak melakukan penimbunan di gudang ataupun di gerai. Roy mengklarifikasi adanya dugaan yang dinyatakan oleh seorang anggota satu lembaga Pemerintah.
Menurutnya secara prinsip dasar operasional produk yang dikirimkan dari produsen dan distributor ke gudang peritel akan langsung distribusikan ke gerai-gerai dan langsung dijual kepada konsumen.
"Bukan hanya minyak goreng, tapi semua dan berbagai produk yang ada di gerai juga seperti itu," ucapnya melalui keterangan resminya, Jumat (11/2).
Oleh karena itu, tidak ada urgensi atau kepentingan mengapa ritel modern harus menahan stok minyak goreng di gudang. Selain gudang peritel sangat terbatas, karena berisikan berbagai macam barang, model bisnis ritel modern adalah pengecer yang langsung menjual produk ke konsumen akhir.
Atas hal itu, menurut Roy, tidak akan mungkin menjual barang-barangnya kepada agen atau pihak lain lagi. Dia menyebut, tidak masuk akal dilakukan penimbunan.
"Bagaimana mungkin dan tidak masuk di akal sehat, ketika saat ini kita sendiri masih belum terpenuhi pasokan berdasar purchasing order (PO) kepada distributor minyak goreng kepada gerai gerai kami dan selalu langsung habis dibeli oleh konsumen dalam waktu 2-3 jam sejak gerai dibuka, dengan demikian dari mana lagi stok nya untuk menjual ke pasar rakyat," tuturnya.
Pihaknya menyayangkan adanya sangkaan ritel modern menghambat penyaluran kepada masyarakat. Padahal pihak Aprindo, menurut dia, mendukung sepenuhnya dan membantu pemerintah untuk mendistribusikan minyak goreng secara merata.
Lebih lanjut dia mengatakan, kelangkaan minyak goreng dikarenakan pasokan minyak goreng dari produsen dan distributor yang memang belum optimal. Selain itu, animo masyarakat untuk membeli minyak goreng lebih besar karena harga yang terjangkau.
"Perlu pula diinformasikan, bahwa tidak semua gerai yang berada diluar pasar tradisional/rakyat adalah ritel modern, ada warung atau toko tradisional, toko agen, toko grosir dan seterusnya yang bukan format ritel modern dan yang bukan anggota ritel modern Aprindo," ucapnya.
Sebelumnya, Ombudsman RI menemukan tiga fakta di lapangan mengenai kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, berdasarkan pemantauan lapangan yang dilakukan Ombudsman di 34 provinsi setidaknya ada tiga fenomena masyarakat menyikapi kebijakan Migor dari pemerintah.
Pertama, ditemukan penimbunan Migor oleh masyarakat. Menanggapi kondisi ini pihaknya meminta agar Satgas pangan melakukan tindakan yang tegas, sehingga penimbunan bisa diminimalisir.
"Penimbunan ini diharapkan Satgas pangan reaksi cepat ini perlu ketegasan," ujarnya dalam diskusi'Diskusi Pelayanan Publik Menjamin Ketersediaan Minyak Goreng, Selasa (8/2).
Kedua, menurutnya ditemukan pengalihan barang di pasar modern. Artinya kelangkaan di pasar modern memang ada yang dibuat oleh pelaku pasar modern.
Dia menjelaskan, pelaku pasar modern ada yang menawarkan ke pasar tradisional untuk membeli, karena pengawasan di pasar modern bisa dilakukan dengan ketat. Akhirnya dijual ke pasar tradisional dengan harga di atas Rp14.000.
"Ya tentu masyarakat mau datang ke pasar modern, tapi gak semua punya akses kalaupun ada akses, minyak gak ada, repot juga," katanya.
Ketiga, terjadi panic buying atau membeli secara berlebihan meski sudah dibatasi. Menurutnya, hal itu karena kondisi ini terjadi secara berulang, maka mestinya bisa diantisipasi.
"Kami harap tiga hal ini di kemudian hari bisa dihilangkan. Pertanyaannya bagaimana pemerintah berikan pelayanan ke masyarakat dengan HET ini, sejauh mana kemampuannya," ucapnya.