close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi rupiah. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi rupiah. Foto Freepik.
Bisnis
Minggu, 21 Juli 2024 18:13

Arah nilai tukar rupiah setelah menguat terhadap dolar AS

Bank Indonesia (BI) mencatat mata uang Garuda hingga 16 Juli 2024 menguat 1,21% dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2024.
swipe

Rupiah mulai perkasa dari dolar Amerika Serikat (AS). Bank Indonesia (BI) mencatat mata uang Garuda hingga 16 Juli 2024 menguat 1,21% dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2024.

Nilai tukar rupiah melemah 4,84% secara year to date (ytd) dari level akhir Desember 2023, lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan Peso Filipina, Baht Thailand, dan Won Korea yang masing-masing sebesar 5,14%, 5,44%, dan 7,03%.

Analis Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan nilai tukar rupiah menguat setelah bank sentral Amerika Serikat (AS), the Fed memberikan indikasi akan menurunkan suku bunga acuannya pada tahun ini. Selain itu, kebijakan moneter yang diterapkan oleh BI juga memiliki dampak signifikan terhadap nilai tukar rupiah. 

"Capital inflow (aliran modal masuk) mulai kembali ke pasar domestik mendukung penguatan rupiah saat ini,” ujarnya kepada Alinea.id, Kamis (18/7).

Reny menyebut, pemerintah perlu menerapkan sejumlah kebijakan secara komprehensif dan terintegrasi agar memberikan dampak yang signifikan dan berkelanjutan. Meliputi, penguatan cadangan devisa serta diversifikasi pasar dan produk ekspor Indonesia. Tujuannya, mengurangi ketergantungan pada komoditas ekspor tertentu dan rentan terhadap fluktuasi harga internasional.

Asal tahu saja, bila kinerja ekspor melambat, maka akan berdampak pada kinerja neraca perdagangan yang kemudian mempengaruhi fluktuasi nilai tukar rupiah. Implikasi lanjutannya, cadangan devisa akan tersedot lantaran digunakan untuk melakukan stabilisasi nilai tukar sepanjang tahun.

Selain itu, ujar Reny, juga dilakukan dengan penguatan kebijakan moneter. 

"BI dapat melanjutkan triple interventions dan optimalisasi issuance pro-market instrument. Tujuannya untuk kembali menarik inflow agar rupiah tetap terjaga stabil," tuturnya. 

Efek Trump

Analis ekonomi keuangan Rully Nova mengatakan laju rupiah bisa tertahan akibat isu politik pencalonan Presiden AS. Diketahui, Donald Trump telah menerima tiket pencalonan dirinya sebagai calon presiden (capres) AS dari Partai Republik. Ia kini resmi maju ke Pilpres AS yang digelar 5 November mendatang.

Sementara Partai Demokrat belum kunjung mengumumkan capres mereka. Demokrat baru akan menggelar konvensi nasional pada 19 Agustus mendatang dan akan mengumumkan pasangan capres dan cawapres resmi pada kesempatan itu.

Jika Donald Trump menang, diprediksi akan menjadi sentimen negatif bagi pergerakan rupiah. Kebijakan Trump sangat pro dalam negeri AS dan mendorong menguatnya dolar AS. Dus, mata uang lain termasuk rupiah akan melemah.

Rully bilang, kemenangan Trump bakal merugikan perdagangan internasional. Pasalnya, capres yang baru-baru ini ditembak oleh orang tak dikenal itu diprediksi akan menerapkan kebijakan proteksionisme.

"Untungnya, kurang berpengaruh ke Indonesia jika AS menjalankan politik proteksionismenya. Namun pemerintah harus waspada terhadap gempuran impor yang bisa mematikan industri dan meningkatkan PHK (pemutusan hubungan kerja) di dalam negeri,” ujarnya.

Langkah BI

Gubernur BI Perry Warjiyo dalam keterangan resminya, Rabu (17/7) yakin nilai tukar rupiah akan menguat ditopang oleh menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi, tetap baiknya pertumbuhan ekonomi Indonesia, serta komitmen BI untuk terus menstabilkan nilai tukar rupiah.

"Faktor tersebut akan mendorong berlanjutnya aliran masuk modal asing," ujarnya.

Menurutnya, BI terus mengoptimalkan seluruh instrumen moneter, termasuk penguatan strategi operasi moneter pro-market melalui optimalisasi instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI). BI juga memperkuat koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha untuk mendukung implementasi instrumen penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sejalan dengan PP Nomor 36 Tahun 2023.

"Dioptimalkannya berbagai instrumen moneter pro-market juga dimaksudkan untuk mempercepat upaya pendalaman pasar uang dan mendukung aliran masuk modal asing ke dalam negeri," ujarnya.

Hingga 15 Juli 2024, posisi instrumen SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat sebesar Rp775,45 triliun, US$1,82 miliar, dan US$267 juta.

Menurut Perry, penerbitan SRBI telah mendukung aliran masuk portofolio asing ke dalam negeri, tecermin dari kepemilikan nonresiden yang mencapai Rp220,35 triliun atau 28,42% dari total outstanding. Implementasi Primary Dealer (PD) sejak Mei 2024 juga memperkuat efektivitas SRBI sebagai instrumen moneter dalam mendukung stabilitas nilai tukar rupiah dan pengendalian inflasi.

"Ke depan, BI akan terus mengoptimalkan berbagai inovasi instrumen pro-market baik dari sisi volume maupun daya tarik imbal hasil, dan didukung kondisi fundamental ekonomi domestik yang kuat, untuk mendorong berlanjutnya aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan domestik," lanjutnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan